Rise of the Planet of the Apes
Rilis : September 2011 (Indonesia)
Produksi : Dune Entertainment
Sutradara : Rupert Wyatt
Penulis Naskah : Amanda Silver dan Rick Jaffa
Pemain : James Franco, Andy Serkis, Freida Pinto, John Lithgow
Siapa berani pada kumpulan kera yang bersatu?
Tak ada netralitas dalam halnya
revolusi. Kita mendukung atau mengutuknya. Namun revolusi manusia versus
simpanse dalam film Rise of the Planet of
the Apes adalah drama satir buat kita, manusia. Lewat tekniknya di bagian akhir film,
sutradara Rupert Wyatt, memang membiarkan penonton memilih. Tentu saja, jika
mengikuti alur cerita sedari awal, mungkin Anda (dan sudah pasti saya), akan
membela kumpulan simpanse brutal itu.
Film ini dimulai oleh kemampuan
spesial hewan ujicoba simpanse bernama Bright Eyes.
Dinamai begitu, sebab sejak ia diujicobakan obat terbaru penyembuh Alzheimer,
retina matanya berubah kehijauan (Bright Eyes). Kecemerlangan ini membuat
tertarik pihak pendana riset. Saat presentasi, si penemu obat William Rodman (James
Franco) terkejut pada serangan tiba-tiba Bright Eyes di meja pemegang saham. Ia pun
akhirnya mati oleh peluru petugas keamanan. Proyek obat itu dihentikan.
Tanpa diketahui perusahaan, Will mencuri
obat itu. Sampel obat yang diambil kemudian disuntikkan ke ayahnya Charles
Rodman (John Lithgow) yang menderita Alzheimer stadium lanjut. Will juga diam-diam
memelihara anak Bright Eyes yakni Caesar (Andy Serkis). Tahun berlalu,
kebahagiaan Will meningkat. Selain ayahnya memperlihatkan tanda-tanda sembuh, Caesar, akibat pengaruh genetis ibunya, juga mengalami kemajuan intelejensi dan kecerdasan melebihi anak manusia
seusianya .
“Saya suka simpanse, sekaligus
takut terhadapnya,” ujar Caroline Aranha (Freida Pinto) kekasih Will. Sebagai
dokter hewan kebun binatang, ia hapal betul perilaku simpanse. Muda dan
memiliki intelejensia tinggi, Caesar diakui nampak menggemaskan. Namun saat
beranjak dewasa, Caesar bisa liar dan agresif.
Perlawanan Caesar mulai muncul
tatkala ia mempertanyakan Will apakah ia hewan peliharaan atau bukan. Will lalu
memperlihatkan sejarah asal mula dari Caesar. Di kantor Will, kisah hidup ibu
Caesar diakhiri. Itu membuatnya geram.
Perkembangan naluriah hewani
Caesar kian tak terbendung. Apalagi kala melihat ayah Will dikasari tetangga. Tanpa
ampun Caesar menyerang tetangga kasar itu. Dengan semua saksi saat kejadian, Caesar
terpaksa dikurung ke tempat penampungan kera.
Ditengah emosi yang mengganas,
tempat penampungan bukanlah ruang bersahabat dan curahan kasih sayang bagi
Caesar. Siksaan fisik dan batin ia alami. Pemandangan trenyuh saat si antagonis
Dodge Landon (Tom Felton) menyemprot selang pemadam ke arah Caesar. Nama
terakhir ini tenar dalam peran antagonis franchise Harry Potter, si Draco
Malfoy.
Di satu sisi, pengobatan Will mulai
menunjukkan kegagalan. Alzheimer ayahnya kian mengkhawatirkan dari sebelumnya. Hingga
akhirnya ia mencipta obat lebih kuat yang justru calon wabah bagi manusia. Ajaibnya,
obat itu malah bekerja ampuh dan cepat menambah kecerdasan pada kera.
Kita patut angkat topi pada Rupert
Wyatt dan tim penulis Amanda Silver dan Rick Jaffa. Ia mampu lolos dari jebakan
cerita bagaimana menyatukan para kera dalam sebuah revolusi terstruktur?
Mustahil jika membayangkan mereka tak punya bahasa, bodoh dan primitif dapat
menundukkan sekumpulan polisi. Rupert dan timnya membuatnya jadi masuk akal dan
tidak mengawang-awang.
Rupert pun tetap mempertahankan genre
action thriller pada film ini. Memang ada sedikit drama pada adegan Will meninggalkan
Caesar tanpa kejelasan di penampungan. Pun bagaimana sayangnya Caesar pada
Charles. Soal invasi kera juga tak lantas membuatnya jadi film horor.
Bagaimana dengan sains fiksi?
Obat-obatan dan rumus kimia itu dengan mudah diterjemahkan awal kepintaran
Caesar dan pasukan keranya.
Laju emosional menaik cepat di
tiap adegan. Meski ada bagian adegan yang lemah di awal, tapi sisi emosi
dibangun dan mencapai puncaknya saat Caesar mulai berbicara bahasa manusia.
Kata pertamanya adalah “No” untuk perlakuan kasar yang mereka terima dari
manusia.
Latar kota San Fransisco dengan Jembatan
Golden Gate-nya dikemas brilian. Pertempuran, adu taktik dan strategi berjalan
pas di panggung megah ini.
Dalam film ini kita dipaksa sibuk
memperhatikan karakter simpanse dari Caesar. Hal ini berpengaruh banyak
terhadap kualitas akting para pemeran manusia: James Franco, Freida Pinto dan
Tom Felton. Tidak buruk, hanya saja pemeran manusia disini pelengkap semata. Utamanya
adalah Caesar.
James Franco sebagai dokter
berperan krusial, tapi tidak cukup banyak dapat adegan. Sementara Tom Felton
masih terlekat karakter Draco Malfoy-nya Harry Potter yang menyebalkan dan sok
tahu. Bedanya si Malfoy versi lusuh ini akhirnya mati dengan cara yang
dinikmati penonton: Kebodohannya sendiri.
Mengapa Caesar spesial? Jawabnya teknologi
performance-capture. Inilah yang
ditakutkan para aktor ketika teknologi mulai menggantikan mereka di depan
kamera. Teknologi ini fokusnya menangkap gerakan dan ekspresi muka Andy tanpa
cela. Jadilah Caesar dengan karakter yang sangat kuat. Andy Serkis, si pemilik
muka Caesar dengan baik memerankan mimik kera yang emosional, serius, sendu dan
kadang manja.
Teknologi performace-capture |
Meski menggunakan teknologi terbaru,
namun tangan Rupert-lah penentu suksesnya. Teknologi hanya mendukung film,
bukan sebaliknya. Mungkin jika melihat Transformers, kita takjub pada performa
sci-fi Steven Spielberg. Itu tidak terjadi pada Rise of the Planet of the Apes.
Namun harus diakui, penampilan Caesar tanpa dukungan teknologi tersebut bak
melihat film King Kong yang usang dihidupkan kembali.
Pada akhirnya dengan kecerdasan
Caesar mengelola massa, bangsa kera meraih kebebasannya. Meski ending agak
gantung, saya terlanjur terkesima dengan jalan cerita Rise of the Planet of the
Apes. Ada ketakutan tersendiri bagaimana kekuatan justru dimiliki kera. Disini
Malfoy kucel menjadi kehilangan sifat luhur manusia (menyayangi makhluk lain).
Di lain pihak, Caesar tumbuh sifat yang harusnya dimiliki manusia (persatuan,
rasa senasib sepenanggungan). Paradoks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar