Moneyball
Sutradara : Bennett Miller
Rilis: Oktober 2011
Penulis Naskah: Steven Zailan dan Aaron Sorkin
Pemain : Brad Pitt, Jonah Hill dan Phillip Seymour Hoffman
Billy Beane adalah sosok unik; satu sisi pikirannya taklid pada
statistik, di sisi lain ia tak mampu menafikan takhayul dalam dirinya.
Film ini didasari novel berjudul
sama, dengan subjudul novelnya yang cukup provokatif: The Art of Winning an
Unfair Game (Seni Memenangi Pertandingan Yang Tak Seimbang). Kalimat itulah
yang menjadi daya magis film ini. Manajer tim, Billy Beane (Brad Pitt), rupanya
sudah muak dengan rentetan kekalahan timnya Oakland Athletics. Hanya berkutat
jadi tim gurem pemroduksi pemain hebat. Ia lantas meminta dana lebih pada
pemilik klub untuk mempertahankan pemainnya. Usahanya gagal, sang pemain
bintang tetap pergi.
Pertemuan dengan pencari bakat
dan pelatih pun sama saja. Bagi Beane, hanya lingkaran setan. Mereka terus mengorbitkan
bibit berbakat cuma untuk dijual pada tim kaya. Dananya untuk pencarian bibit
lagi. “Kita selamanya tak akan menyamai standar mereka (tim kaya),” papar
Beane.
Beane memutar otak. Mencari
pemain murah namun berkualitas. Usahanya terlihat sia-sia sampai ia bertemu Peter
Brand (Jonah Hill), fresh graduate dari Yale jurusan ekonomi. Atas analisanyalah
hidup Beane dan seluruh tim kelak berubah.
Beane terkesima pada cara
berpikir Brand—analisis seputar home run, tangkapan di base hingga persentase
pukulan. Selain itu, Beane terlampau jengah dengan metode kuno perekrutan berdasarkan
insting pencari bakat.
Tiga pemain hebat yang sudah
hengkang memang diprediksi akan sulit dicari gantinya. Beane dan Brand kemudian
mulai mensortir pemain yang berada di liga berdasarkan statistik. Tak lagi
mereka mencari bakat-bakat muda. Kali ini mereka mengincar prestasi.
Art Howe (Phillip Seymour Hoffman),
salah satu pencari bakat tak suka cara perekrutan mereka. Terlebih pemain-pemain
yang mereka pilih rata-rata bermasalah: Cedera parah, bintang yang sudah gaek
dan indisipliner. Hal ini seperti melanggar pakem bisbol. Meski ditentang banyak
pihak, tim tetap berjalan dengan pemain-pemain baru macam Scott
Hatteberg (Chris Pratt), David Justice (Stephen Bishop), dan Chad Bradford
(Casey Bond).
Dalam perjalanannya, tim racikan duet statistik ini penuh onak duri. Dimulai dari pelatih yang cenderung memilih pemain bintang,
ketimbang pemain baru. Prestasi yang makin merosot jadi ladang kecaman Art
Howe.
Namun Beane sangat berpendirian kuat. Ia
sangat paham, jika pemain pilihan para pencari bakat juga tak berarti bagus. Dahulu,
Beane juga pernah digadang bakal jadi pemain top oleh Art Howe. Ia rela
meninggalkan bangku kuliahnya di kampus ternama diisi orang lain. Ternyata Beane
bermain buruk. Beane, produk masa lalu Art Howe, sangat marah. Metode insting
semata itu juga menelan masa depannya. Kini demi masa depan tim, ia memecat Art
Howe.
Pada dasarnya film ini mengisahkan
kembali kenangan heroik tim bisbol Amerika Oakland Athletics pada musim 2002. Kala
itu dengan gaji pemain dibawah rata-rata dan pemilihan pemain yang nyentrik, Athletics
mampu mengukir sejarah tak terkalahkan
dalam 20 pertandingan. Sejarah baru bisbol Amerika yang sulit disamai di jaman
modern seperti sekarang.
Kekalahan pertama setelah deretan
keberhasilan malah terjadi di babak Play Off. Mereka tak juara. Dari itu semua,
metode Beane telah merevolusi gaya transfer bisbol masa kini. Selain kejelian
pencari bakat, tim juga mesti melengkapi diri dengan data-data pemain incaran
mereka.
Saya, sebagai penonton awam
bisbol merasa kagum dengan film drama-olahraga ini. Jalan cerita yang menyentak
nurani cukup menutupi ketidakmengertian tentang bisbol. Setelah berhasil di The
Social Network, Aaron Sorkis nampaknya ingin merangkul fans bisbol Amerika
dengan menulis Moneyball. Ia berhasil, bahkan bagi yang tak menggemari bisbol
sekalipun.
Beane, yang muncul hampir keseluruhan
film, diperankan nyaris sempurna oleh Brad Pitt. Bertumpuk-tumpuk dialog, ragam
debat argumentasi dan kegeraman fisik-psikis sangat terlihat. Brad Pitt
sepertinya bermain dengan kompleksitas peran. Karakter Beane yang di luar terlihat
percaya diri dan berapi-api, namun dalam kesendiriannya kita dapat melihat rasa
sakit dan frustasi yang dalam.
Meski gemar statistik, Beane juga
percaya takhayul. Ia tak pernah mau menghadiri timnya saat bertanding. Bermodal
siaran radio, Beane hanya mendengarkan perkembangan timnya. Baginya lapangan
itu menyimpan memori buruk masa mudanya. Dengan kesuksesan timnya, Beane di
akhir cerita ditawari Boston Red Sox. Kontraknya bisa menjadi terbesar di dunia
bisbol. Namun ia menolak.
Satu nama lagi: Jonah Hill. Sang
analis dalam film ini cocok mendukung keseluruhan cerita. Tampangnya yang lugu nan
cerdas bisa membuat karirnya menanjak di film berikutnya. Saya ingat dia di
film Accepted. Ia bermain baik pula di film tersebut.
Well, akhir cerita. Film ini
rekomendasi bagus. Apalagi ada keterkaitan dengan Liverpool. Konon, sejak itu Red
Sox mengimplementasi metode Beane. Red Sox juara setelah 36 tahun puasa gelar.
Inisiator Red Sox adalah John W. Henry pemilik Fenway Sports Groups. Selain
memiliki saham terbesar Red Sox, ia juga mengakuisisi Liverpool setahun silam.
Metode untuk Liverpool juga sama: mencari pemain berdasar statistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar