Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

4.12.2009

Simbol Modernitas Masjid Perkotaan


Sekali waktu, jika kebetulan melintas di Menteng, cobalah melewati Jalan Taman Sunda Kelapa. Di sana ada masjid megah dengan plang bertuliskan “Masjid Agung Sunda Kelapa”. Apa pun yang ingin Anda lakukan bisa didapat di sana. Bisa ibadah, baca buku, mengaji, atau sekedar kongko-kongko bareng rekan-rekan.

Bagi warga ibukota, daerah Menteng terkenal mentereng. Daerah tepat di tengah kota ini mudah diakses dari mana saja. Penggila sepakbola ibukota era 1970-an pasti tak lupa untuk berakhir pekan di Stadion Menteng demi melihat Persija Jakarta bertanding. Kini, stadion itu dirubuhkan. Diganti oleh Taman Menteng dengan ciri futuristiknya. Namun, peninggalan era 1970-an ternyata masih ada yang dipertahankan dan menjadi kebanggaan Menteng hingga kini. Tempat tersebut yakni Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK).

Masa-masa awal pembangunan masjid ini sebenarnya penuh perjuangan. Tahun 1966 susunan kepanitiaan pembangunan masjid baru dibentuk, diketuai oleh H.B.R. Motik. Di tahun yang sama panitia tersebut mendatangi Gubernur Jakarta, Ali Sadikin, bermaksud mengajukan rencana pembangunan masjid.


Mereka mengusulkan kepada Bang Ali, panggilan akrab Ali Sadikin, agar Gedung BAPPENAS dialihfungsikan menjadi masjid, Masjid Raya Menteng. Rencana itu lalu ditolak. Kabinet Ampera, susunan pemerintahan saat itu, masih membutuhkan gedung tersebut –hingga kini masih dipakai.

Diusulkan kembali agar Stadion Menteng atau Taman Sunda Kelapa menjadi lokasinya. Seperti kita tahu, lokasi Taman Sunda Kelapa lah yang dipilih. Pembangunannya ditandai peletakan batu pertama pada 21 Desember 1969, kemudian diresmikan Bang Ali tanggal 31 Maret 1971.

Masjid ini hasil rancangan Ir. Gustaf Abbas, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB). Insinyur yang juga merancang Masjid Salman ITB ini sengaja membuat desain khusus Masjid Agung Sunda Kelapa. Seolah mewakili semangat modernitas yang tumbuh di Indonesia awal 1970-an.

Kisruh politik 1965 ternyata juga menjadi salah satu faktor kunci. Abbas waktu itu didukung militer, khususnya para jenderal yang tinggal di seputaran Menteng, untuk segera membangun masjid tersebut. Jenderal-jenderal tersebut merasa perlu menyadarkan pentingnya agama bagi warga ibukota. Apalagi kala itu belum ada sebuah masjid besar yang berada di kawasan elit Menteng.

“Masjid ini (MASK) merupakan aset Pemda, namun pengelolaannya swadaya masyarakat. Sejak berdirinya masjid ini kita turut berjuang mengelola dari hasil jerih payah masyarakat itu sendiri,” jelas Adhi Laksono, Kepala Bidang Pendukung Operasi MASK.

Ia menambahkan bahwa proses pergantian pengurus masjid digelar setiap lima tahun sekali. Bertindak sebagai ketua umum kali ini Syaiful Hamid.

Melihat gaya arsitektur MASK seakan membongkar pandangan umum arsitektur masjid-masjid Indonesia. Jarang ditemui pula simbol-simbol khas Timur Tengah. Desain-desain modern meliputi hampir semua kontur masjid 38 tahun ini, baik dari segi interior maupun eksterior. Terkesan fleksibel, praktis dan sederhana.

Kesederhanaan terlihat dalam pemilihan bentuk pintu, jendela, maupun aksesoris lainnya. Bangunannya memakai struktur beton pada pilar, plang dan atap masjid. Begitu pula dengan model lampu taman, undakan tangga maupun plaza di gerbang utamanya.

Masjid ini tak memiliki kubah. Karena namanya Sunda Kelapa, simbol pelabuhan, maka bangunan utama masjid yang dibuat pun mirip perahu. Sepertinya tak ingin lepas dari ke-maritim-an Jakarta, kota pelabuhan tempat para saudagar muslim marak berdagang sambil menyebarkan ajaran Islam hingga penjuru pulau Jawa.

Dengan luas area 9.920 m², Masjid Agung Sunda Kelapa dapat menampung 4.500-an jamaah. “Kalau digunakan hingga halaman depan, bisa menampung 10.000 jemaah,” kata Adhi Laksono. Selain Ruang Ibadah Utama Masjid Sunda Kelapa, ada pula Aula Sakinah dan Serambi Jayakarta.

Kenyamanan jemaah (pengunjung) dalam beribadah betul-betul dijaga. Selain tempatnya bersih, dilengkapi juga penitipan sepatu untuk 300 pasang, keran wudhu berjumlah 72, kakus duduk sebanyak 30, AC dan beberapa kipas angin. Bahkan sumber daya manusia, semisal khatib Jumat, merupakan orang-orang pilihan. “Khatib Jumat bukannya kami pilih tidak sembarangan orang, tapi kami pilih yang lebih berkompeten,” ucap Adhi.

MASK sendiri merupakan masjid pertama di Indonesia yang menggabungkan konsep ibadah, pendidikan dan ekonomi. Langkah inilah yang selanjutnya diikuti masjid-masjid lain di Jakarta.

Terkait pendanaan, disamping mengandalkan kotak amal dan sokongan Pemda, mereka juga mencari sumber dana lain. “Kami punya koperasi dan beberapa lahan kami sewakan. Sering diadakan di sini resepsi pernikahan.” Biasanya untuk resepsi pernikahan pengurus masjid menyediakan Aula Sakinah.

Fungsi ekonomi bagi umat sekitar juga nampak dari banyaknya warung makan sekitar masjid, khususnya di depan gerbang utama. Jajanan maupun makanan yang ditawarkan khas nusantara. Paling sering ditemui adalah menu tongseng dengan minuman es kelapa muda. Harganya cukup wajar. Jikalau kantong Anda kebetulan sedang cekak, cukup minum es kelapa muda seharga lima ribu rupiah, dengan ukuran gelas ekstra besar. Sangat segar dan bisa menahan lapar untuk beberapa jam.

“Ketenaran” Masjid Agung Sunda Kelapa juga digaungkan oleh kreatifitas para pengurus dan remaja masjidnya. Terbukti banyak acara yang digelar di sini. Setiap hari terdapat pengajian dengan materi pokok ke-Islam-an. Belum lagi setiap bulannya ada saja seminar-seminar bertema umum maupun yang bertema ke-Islam-an.

Siapa yang tak kenal Remaja Islam Sunda Kelapa, yang biasa disingkat RISKA? Sebagai remaja masjid di MASK, selain mengadakan pengajian mingguan, RISKA sering menggelar acara-acara bertema unik. Mereka bahkan pernah menggelar acara Dakwah on the Mall yang sekaligus menggaet beberapa sponsor ternama.

Kemakmuran masjid ternyata tidak hanya bergantung pada lokasinya yang elit semata. Tanpa dibarengi inisiatif serta kreatifitas dari pengurus dan remaja masjid untuk memakmurkan masjidnya, hal itu seperti berjalan di tempat. Ikhtiar yang dibarengi kreatifitas “orang-orang dalam” Masjid Agung Sunda Kelapa terbukti membuat masjid ini kebanjiran jemaah.

Hendro Prasetyo

Tidak ada komentar: