Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

4.12.2009

Keteguhan Berdakwah Dadang Hawari

“Sampaikanlah satu atau dua ayat.”

Pintu coklat berukiran Jepara itu dibuka. Tiba-tiba muncul seorang tamu; tinggi sekitar 175 cm, berkulit putih, berpenampilan necis, keluar seraya tersenyum tipis. Rautnya seperti orang yang baru tercerahkan. Menyusul dibelakangnya, seorang pria berbusana serba putih dengan perawakan kebapak-bapakan. “Ayo, silakan masuk,” sahut pria tersebut, ramah mempersilakan Masjid Nusantara masuk ke dalam ruangan prakteknya.

Ruangan sekitar 5 x 5 m itu dipenuhi bermacam buku psikologi. Banyak juga klipingan koran berita terkait dirinya membahas soal-soal keseharian; macam narkotika dan seks bebas. Klipingan itu dipajang di meja berlapis kaca tempatnya biasa melayani pasien.

Dadang Hawari nama lengkapnya. Psikiater jebolan Universitas Indonesia (UI) ini masih terlihat segar bugar. Walaupun sudah setengah baya, rambutnya masih hitam lebat. Badannya juga tegap. Tak nampak kekuyuan di wajahnya, seperti umumnya pria berusia 50-an ke atas. Selain bergaya hidup sehat, dia juga terus menjaga kejernihan jiwanya dengan mengingat Allah SWT.


Definisi sehat dalam UU Kesehatan disebutkan hanya secara biologi, psikologi dan sosial. Namun, Dadang Hawari menambahkannya dari segi spiritual, yakni peningkatan iman dan takwa. “Jadi manusia yang sehat itu manusia yang beragama,” terangnya menyimpulkan.

Dalam dunia kedokteran tanah air, khususnya psikiatri, namanya sangat kondang. Dia banyak tampil di TV, radio maupun media cetak nasional. Setiap ada problem sosial yang berhubungan dengan kejiwaan atau psikologi, sosok Dadang Hawari kerap dikedepankan.

Pria kelahiran Pekalongan, 16 Juni 1940 ini, mengawali karir kedokterannya setelah lulus pendidikan dokter (umum) di Fakultas Kedokteran UI tahun 1965. “Saya jadi dokter untuk mengetahui manusia seutuhnya,” ujar suami Ernie Hawari ini.

Dilatarbelakangi rasa ingin tahu yang besar, dia kemudian memutuskan meneruskan pendidikannya di bidang kedokteran, spesialisasi kejiwaan (psikiatri). Mengambil gelar master di fakultas yang sama, Dadang lulus empat tahun setelahnya, 1969.

Gairah keilmuan mengalir deras di pribadi ayah tiga anak ini. Di awal 1970, dia mendapat kesempatan pergi ke Inggris melalui program Rencana Colombo. Di sana dia mempelajari Psikiatri Sosial atau Kemasyarakatan selama setahun. Disertasinya yang berjudul Pendekatan Psikiatri Klinis Pada Penyalahgunaan Zat (Narkoba/NAZA) membuatnya meraih gelar Doktor dengan predikat Cum Laude tahun 1990. Atas perannya di masyarakat dan buku-buku karangannya, tahun 1993 UI mengangkatnya sebagai Guru Besar Tetap FKUI.

Tak hanya itu, lemari Dadang Hawari juga padat penghargaan. Dari tingkat nasional seperti piagam kehormatan Presiden RI “Satyalancana Karya Satya 30 Tahun” tahun 2005, hingga tingkat internasional, yaitu PBB, berupa United Nations Office on Drugs and Crime tahun 2003.

Beragam profesi dia geluti. Dari menjadi staf pengajar FKUI sampai terakhir staf ahli BNN (Badan Narkotika Nasional). Sekarang selain membuka praktek di rumahnya, Dadang masih menyempatkan diri menulis buku, menghadiri seminar-seminar tentang narkoba, AIDS, dan kesehatan jiwa, baik di dalam maupun di luar negeri.

Di badan pintu ruang praktek yang terhubung ke dalam rumahnya, terpampang gambar Albert Einstein. Salah satu filosofi dari fisikawan terkemuka ini sanggup menarik hati Dadang Hawari. “Ilmu pengetahuan tanpa agama bagaikan orang buta, sebaliknya agama tanpa ilmu pengetahuan bagaikan orang buta,” ucapnya kagum menirukan filosofi Einstein 57 tahun silam.

Filosofi itu masih dipegang hingga kini. Sebab, ketika mengeluarkan solusi atau pendapat tentang suatu masalah di media massa, dia selalu memakai pendekatan ke-Islam-an. “Kok tidak ada sisi keagamaannya dalam kedokteran jiwa. Lalu saya coba mengintegrasikan keagamaan, khususnya Islam, dengan kedokteran kejiwaan (psikiatri),” kenang Dadang.

Menurutnya, antara agama dan kedokteran jiwa hubungannya sangat dekat. Apalagi agama diturunkan untuk memperbaiki umat manusia, kedokteran dalam hal ini juga demikian. Fungsinya yaitu menjaga kesehatan, pikiran dan perasaan manusia.

Putra ketiga pasangan Iskandar Idries (alm) dan Siti Aisyah (almh) ini menyesalkan banyak psikiatri yang tak melakukan pendekatan keagamaan. Pola pendidikan yang tak banyak menggunakan sisi agama bukanlah alasan. Setidaknya calon psikiatri bisa mencari sumber-sumber lain di luar materi kuliah. “Di Amerika yang sekuler saja sekarang ini mulai dikembangkan metode spiritual sejak 1992.”

Tren pendekatan pengobatan di dunia belakangan ini, lanjutnya, sudah beralih ke pendekatan spiritual. Setelah pengobatan biologi melalui medis dan pikologi melalui konsultasi, ada masalah dalam sosial manusia yang dapat menimbulkan stress. Penawarnya tak lain adalah spiritual kepada Tuhan.

Dalam setiap seminar yang dibawakannya, tak lupa dia menyelipkan beberapa ayat doa maupun dzikir sebagai metode penyembuhan. “Itu sebagai pelengkap saja. Karena dalam penelitian-penelitian, terapi medis saja tanpa doa dan dzikir tidak lengkap. Sebaliknya doa dan dzikir tanpa terapi medik tidak efektif,” jelasnya.

Komentar-komentarnya di media massa memang sering mengundang pro dan kontra. Ambil contoh kasus legalisasi kondom untuk pencegahan HIV/AIDS. Dadang bersikeras menolak penggunaan kondom. Baginya, hukum perzinahan dalam Islam sudah jelas. Memakai kondom dalam konteks seks pranikah juga sama saja, sebab pada dasarnya tetap berzinah. “Ini promosi kondom saja,” tegasnya.

Mengenai nada pro dan kontra tentang dirinya, dia bersikap tenang-tenang saja. “Seperti yang diperintahkan: Sampaikanlah satu atau dua ayat. Saya berusaha menyampaikan itu saja.”

Dia berpegang teguh pada Islam, tak ambil pusing terhadap opini yang bersliweran. Dalam berpraktek pun tak jarang dia menyentuh sisi spiritualitas sang pasien. Pendiriannya tentang Islam tegas. Hangat di luar, teguh di dalam sebagai pribadi.

Hendro Prasetyo

Tidak ada komentar: