Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

Jual…Dijual Indonesia

Gelisah hari ini (18/7/07). Tak seperti hari-hari sebelumnya, Rabu ini tiket Piala Asia antara Indonesia dan Korsel susah didapat. Kemarin, secara ikhlas jaminan tiket harus dilepas. Anak SR UNJ yang biasa jadi ‘kontributor tiket dadakan’ mendadak bingung. Uang yang terlanjur dibayar terpaksa dipinta kembali. Padahal bisa saja jika dipaksakan.


Kontributor SR menyatakan bahwa hanya 100 tiket yang bisa tersedia, sementara ada 157 pesanan yang siap uangnya. Praktis, 57 orang lagi entah harus dibuang kemana. Mereka sebenarnya sudah mempunyai hubungan dengan ‘orang dalam’ yang mengurusi distribusi langsung tempat tiket itu dicetak, Malaysia. Namun, karena ‘permainan’ Tim Bravo, selaku tim pengatur tiket Indonesia di Piala Asia, tiket terambil tanpa sepengetahuan. Alhasil, hanya 100 tiket yang ada.

Tiket yang sudah dipesan terpaksa direlakan karena kantong juga sangat tipis untuk kebutuhan esok hari. Besok seorang saudara jauh hendak mendaftar masuk UNJ melalui jalur Penmaba. Pastinya butuh uang untuk biaya hidup esok.

Persoalan distribusi tiket berjalan beriringan dengan penyelenggaraan Piala Asia, khususnya di Indonesia. Kecurigaan pun tertuju pada kelompok suporter yang memang dikoordinir untuk memeriahkan Piala Asia. Mungkin tidak percaya pada antusias gibol yang rela menonton timnas berlaga dan takut kursi stadion akan kosong. Belum lagi calo-calo tiket bak hantu legenda di tiap epos sepakbola Indonesia. Permainan curi-mencuri tiket oleh lingkaran setan PSSI menemui bentuk terburuknya pada pertandingan ini. Seolah tidak mengambil pelajaran pada pertandingan melawan Bahrain.

Sangat resah ketika pengalaman menonton laga hidup-mati timnas Indonesia harus dilewati melalui tabung televisi. Ingin rasanya kegairahan pertandingan terasa hingga tulang sumsum. Sudahlah...

Sehabis mengantar saudara jauh tersebut, langsung beranjak kembali ke kampus A. Karena tempat mendaftarnya ada di kampus B. Bercengkrama bersama beberapa kawan dilakukan untuk membunuh waktu menjelang pertandingan. Jarum jam menunjukkan pukul 4. Keputusan menonton ditujukan ke sekretariat Transformasi. Dalam perjalanan disempatkan sejenak menyaksikan pertandingan futsal di Regee Cup.

Tiba di Trans, sudah hadir kawan-kawan yang siap menonton laga timnas. Aneh pemandangan di Gelora Bung Karno. Biasanya warna dominan merah yang menjadi pembakar semangat, sekaligus penciut nyali tim lawan, berubah putih. Sepertinya ada yang mengkoordinir untuk berubah warna. Rasa curiga datang seketika. Bagaimana massa yang begitu banyak dapat berubah drastis dalam sehari? Kelompok suporter bisa saja mengubahnya. Tentunya yang memiliki tiket secara ‘mudah’.

Teriakan lewat layar kaca tak segemuruh di stadion. Satu persatu peluang Indonesia pun berakhir sia-sia. Di lain sisi, tim Korsel berusaha menerobos melalui sayap acapkali membahayakan Indonesia yang kali ini digawangi Markus Horison. Pada menit 34, tim Korsel menusuk sayap kanan pertahanan Indonesia melalui pemain andalannya Lee Chun Soo. Kim Jung Woo, setelah dioper Lee Chun Soo, menembak dari luar kotak penalti. Sempat membentur Muhammad Ridwan, bola itu mengoyak jala Markus Horison. Tembakannya melahirkan gol yang mendiamkan gemuruh pendukung Indonesia.

Peluang Merah Putih datang dari terobosan Elie Aiboy di penghujung babak pertama. Sayang, tak ada yang menyambut operannya sekitar setengah meter di depan gawang Korsel. Babak pertama berakhir dengan Korsel memimpin 1-0.

Babak kedua berjalan serupa. Tidak banyak peluang tercipta. Malahan Korsel semakin membahayakan lewat tendangan langsung Kim Jung Woo di menit 69. Beruntung kiper Markus mampu menghalaunya. Skor pun tak berubah.

Menjelang akhir babak kedua, peluang manis sempat didapat Indonesia lewat Elie Aiboy. Dengan posisi berhadapan langsung dengan kiper ia justru terpeleset. Bola pun dibuang jauh-jauh oleh pemain Korsel.

Peluit panjang wasit menandai akhir perjalanan tim Merah Putih di Piala Asia. Padahal, dengan hasil imbang saja Indonesia sudah menjejakkan kaki di perempat final. Nasib ternyata sudah menggariskan demikian. Acungan jempol dan tepuk tangan penonton seperti berucap terima kasih pada pejuang lapangan hijau. Walau kalah kelas tapi semangat juang timnas Indonesia melebihi yang diharapkan. Setidaknya tidak menjadi lumbung gol tim lawan layaknya Piala Asia terdahulu.

Kekalahan ini jelas mengecewakan. Mimpi untuk mencetak sejarah ke perempat final sirna sudah. Berita menghebohkan datang keesokan harinya. Kawasan Gelora Bung Karno rusuh. Lokasi tempat penjualan tiket dibakar massa. Perlakuan itu pantas diterima PSSI, bahkan kurang. Semestinya kantor PSSI yang dibakar untuk mengusir benalu-benalu sepakbola Tanah Air. Lontaran seorang kawan cukup mengagetkan. Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, malah memarahi petugas tiket yang terlambat mendistribusikan. Sangat tak tahu malu. Kejadian mati lampu ditambah distribusi tiket yang kacau balau tidak membuat PSSI meminta maaf pada gibol Indonesia. Kambing hitam lah yang mereka cari. Jika saja pembunuhan halal dan legal adanya, saat itu mungkin yang dibunuh pertama kali adalah Nurdin Halid. Seorang residivis yang menjual sepakbola Indonesia demi kantong pribadi.

Tidak ada komentar: