Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

7.17.2012

Hilangnya seorang “Predator”


Fair Play. Plang itu pastinya terpapar di pertandingan sepakbola resmi FIFA. Tiba-tiba terbersit satu kejadian. Bukan, bukan gaya pukul-pukulan sepakbola kita ataupun menyeruduk wasit khas tarkam. Itu bukan Fair Play, bahkan disebut pertandingan sepakbola pun tidak layak. 

Saya hanya mengingat bagaimana striker Robbie Fowler dijegal oleh David Seaman di kotak terlarang. Sekira tahun 1997, Liga Inggris mempertandingkan Arsenal vs Liverpool. All-time hero saya, Robbie Fowler mendapat tendangan 12 pas. Uniknya, sebelum mendapat penalti, Fowler menolak menyebut itu pelanggaran. Fowler diving dan secara kebetulan Seaman ada di depannya. Penalti pun diambil. Dengan setengah hati Fowler menendang pelan ke arah Seaman. Sikapnya menunjukkan ia mengakui diving yang ia perbuat. Highbury, kandang Arsenal saat itu aplaus pada sikap fair play Fowler. Begitu juga dengan FIFA yang menyematkan FIFA Fair Play Award kepadanya.

Sejauh memori mengingat, saya hanya hapal 3 orang striker bertipe predator kelas wahid —atau dalam istilah sepakbola “Poacher”. Pertama adalah Filippo Inzaghi, Ruud van Nistelroy dan terakhir Robbie Fowler. Nama terakhir mungkin terdengar asing. Tapi bagi penyaksi Liga Inggris 1990-an, sudah pasti tahu.

Apa kelebihannya? Postur, tinggi badan, kecepatan ataukah stamina? Dia cuma punya insting mencetak gol. Meski zaman keemasannya di Liverpool tak bertabur piala, ia tetap diingat striker tersubur di Liverpool setara Ian Rush. 

Untuk poacher atau predator kelas dunia tiada tara, jelas Filippo Inzaghi terdepan. Taburan piala dan gol ia bukukan dari Atalanta, Juventus sampai AC Milan. Kemudian kita bertanya, apa kelebihannya? Serupa dengan Robbie Fowler, hanya insting. Bahkan secara teknik individu ia kalah jauh dengan Fowler. Raja offside, sebutannya. Tapi itulah ia, insting mengatakan manusia pasti sesekali salah. Saat offside gagal, ia hampir pasti menyarangkan bola ke gawang.

Bagaimana dengan Ruud van Nistelroy? Dia adalah predator klasik terbaik yang pernah dimiliki Manchester United. Sepanjang sejarah Premiere League, 99 golnya tercipta di area kotak penalti. Hanya ada dua yang dicetak luar kotak 16 meter. Namun, karena ada perbedaan strategi yang diminta Fergie –ditambah konflik internal dengan CR7—pengabdiannya di ManUtd hanya 5 musim dengan 1 gelar juara. 

Lihatlah ManUtd sekarang. Tipe striker murni tak diingini lagi Sir Fergie. Ia cenderung memilih striker yang all-around (serba bisa) seperti Wayne Rooney. Yang mirip Nisterlroy mungkin Andy Cole, tapi ia pun dimainkan tak hanya dipatok di depan. Andy Cole juga harus berotasi posisi dengan duetnya Dwight Yorke untuk melepaskan penjagaan.  

Harapan sempat disandangkan pada Andy Carroll. Sayangnya harapan 35 juta pound itu hanya sia belaka. Penyerang kuncir kuda itu tak mampu memenuhi ekspektasi harga. Ia lebih difungsikan jadi tembok pantul bagi tandemnya (Suarez -Bellamy) atau penahan bola untuk ball possession. Hal itu pun ia sering kalah duel.

Kini hari-hari berjalan berbeda. Robbie Fowler hanya jadi cadangan di tim sekelas Liga Australia. Akselerasinya berkurang jauh dimakan usia. Fisiknya juga tak sebugar dahulu. Ia tak cocok pada taktik sepakbola modern yang membutuhkan kesiapan fisik dan stamina, selain ketajaman. 

Terhitung sampai 2008 saja kita masih bisa saksikan ketajaman striker murni. Kala AC Milan dengan Filippo Inzaghi bermain sesuai skemanya: Pirlo mengumpan pada Inzaghi. Tugasnya hanya berdiri di kotak penalti dan menendang ke gawang lawan. Itu saja. Pergerakan maupun triknya hanyalah bonus tersendiri. 

Filippo Inzaghi. Ketajamannya tak pernah berkurang. Ia mencetak gol terakhir yang brilian saat pertandingan penghabisan AC Milan musim 2011-2012. Inzaghi beruntung di AC Milan tersebab persaingan pemain depan membuat ketajamannya tak hilang. 

Kecepatan. Sepertinya itu tema sepakbola modern belakangan. Penyerang pun setali tiga uang. Mereka yang bermodel mengandalkan umpan dan hanya menceploskan bola tinggal sejarah. Ketatnya lini tengah mengakibatkan pemain depan wajib jemput bola. 


Sebab demikian pula harga transfer tertinggi tak didominasi bomber predator lagi, macam Crespo atau Christian Vieri awal 2000-an silam. Sudah terpecah oleh seorang winger, Cristiano Ronaldo.

Tidak ada komentar: