Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

7.14.2012

Jatuh Bangun Gelandang Pengumpan



Tulisan ini adalah apresiasi bagi Pep Guardiola. Seorang legenda La Masia, Catalan dan tentu saja Barcelona. 

Datang ke final Champions 2008, Pep dianggap terlalu cepat sukses untuk ukuran pelatih muda. Lawannya, pelatih kawakan Sir Fergie. Hingga kemudian Barcelona juara, kita baru menyadari Pep tidak menyiapkan tim hebat ini dalam semalam. Hampir separuh skuad Barcelona saat itu didikan maupun terinspirasi oleh Pep—sejak La Masia maupun saat bermain bersama (Xavi dan Puyol).

Dunia kini menyebut Tiki Taka ala Barca masih ampuh untuk beberapa tahun ke depan. Belum ada obat penangkal yang paten. Hanya sesekali mungkin ultra-defensif Chelsea atau racikan counter Mourinho.

Sebenarnya Pep pada medio 2001 dianggap habis eranya. Baik secara individu Pep sebagai pemain maupun pola permainannya. Gabriela Marcotti pada Majalah Times menyebut Guardiola sudah tak berguna lagi. Habis kontrak dengan Barcelona, tak ada klub yang menginginkan jasanya lagi. Beruntung ada Brescia mau menampung. Meski hanya tim kelas bawang, pelatih Carlo Mazzone butuh Pep untuk menggantikan gelandang terbaiknya yang baru saja hijrah pada 2001: Andrea Pirlo.


Pep saat itu sebenarnya belum surut talentanya. Dialah pelayan setia Hristo Stoichkov, Brian Laudrup dan Romario saat masa jayanya di Barcelona sekitar 1990-an. Ia pula penerus estafet gelandang bertahan pengumpan macam Carlo Ancelotti,

Peran gelandang bertahan pengumpan dalam taktik lambat laun mulai ditinggalkan. “Pemain seperti saya sudah mulai punah,” kata Pep dalam laman ESPN. Permainan berangsur cepat dan taktis. Tak ada lagi cerita sang jangkar mengolah bola, mengontrol irama sambil mengkoordinasi pertahanan.

Awal 2000-an klub-klub Eropa terobsesi permainan taktis. Pemain tengah yang sedang tren adalah duet perusak dan kreator. Sang perusak seperti Davids, Vieira, Gattuso atau Mascherano dibutuhkan untuk mengatasi permainan counter yang cepat. Caranya adalah bagaimana pemain tengah dapat merebut bola dengan cepat, daya jelajah tinggi dan fisik yang kuat.

Sementara itu, tipe kreator merujuk pada gaya pemain “classic number 10”. Ambil contoh macam Zidane, Rui Costa, Kaka dan Roberto Baggio. Singkatnya tipe ini menampilkan sosok gelandang serang yang mampu memberi assist sekaligus finishing layaknya striker.

Mengadopsi pola 4-4-2 (dua gelandang perusak) atau 4-3-1-2 (tiga gelandang perusak) dimaksudkan agar pemainan lawan secepat mungkin kandas di lini tengah, lalu memaksimalkan serangan balik atau intelejensia sang kreator. Banyak klub Eropa maupun tim nasionalnya sukses di periode awal 2000-an. Contoh paling sempurna adalah Juventus (Davids-Zidane).

Xabi Alonso saat di Liverpool sempat mencuatkan peran gelandang pengumpan. Terutama setelah juara Champions 2005 dengan trio Hamann (perusak) Alonso (pengumpan) dan Gerrard (kreator). Taktik kemudian berubah. Muncul kemudian Andrea Pirlo, Paul Scholes dan Michael Carrick. Permainan tak selamanya berlangsung cepat. Aliran bola berjalan dari belakang ke gelandang jangkar kemudian menuju kreator.

Namun revolusi taktik besar-besaran terjadi pada Barcelona era Guardiola pada 2010. Jika periode 2000-an seorang gelandang bertahan bisa mengumpan itu adalah bonus tersendiri, maka bagi Guardiola yang utama dari gelandang adalah umpan sempurna. Maka tak heran Mascherano di Barcelona malah jadi bek. Musim 2010 hingga 2012 Guardiola mempunyai pemain bertipe sepertinya; Xavi, Iniesta dan Sergio Busquets. 14 gelar untuk Barcelona ia persembahkan. Kombinasi Xavi dan Iniesta pula yang membawa Spanyol mengukir sejarah gelar treble.

Jika di pertengahan 2000-an kondang formasi 4-4-2, sekarang berubah menjadi 4-3-3 atau 4-2-3-1. Dengan menempatkan tiga gelandang sentral, praktis selain ada perusak-kreator terselip pengumpan di tengah. Posisinya bervariasi; bisa di depan atau di belakang duet kreator-perusak. Pemain tipe ini terlihat jelas oleh Xavi Hernandez dan Andrea Pirlo. Pergerakan efektif saat bertahan, visi bermain yang lengkap dan mobilitas tinggi saat menyerang. Dengan begitu, keseimbangan tim tetap terjaga.

Sebagai pencetus, Guardiola tetap menerapkan permainan gelandang bertahan-pengumpan yang dulu ia jalani dengan sedikit perubahan. Meniadakan gelandang perusak. Kehadiran gelandang perusak memang ditugaskan menjaga “classic number 10” lawan. Namun jika penguasaan bola harus kuat, maka tugas perusak jadi berkurang. Si kreator pun harus lebih ke belakang demi aliran bola yang lancar. Semisal, posisi Iniesta dan Fabregas berdiri di atas Xavi. Busquets yang notabene perusak mau tak mau harus menjadi pengumpan. Pertarungan lini tengah kini tak lagi berkutat adu fisik, tapi umpan-mengumpan

Tentu saja, ini bukan pertama dilakukan. Kala di Milan, Pirlo di bawah Ancelotti telah melakukan lebih dulu. Milan masa Ancelotti bisa dibilang berpola tak lazim. Mereka memainkan “pohon cemara”, 4-3-2-1. Pirlo berada di garis belakang di bawah Gattuso dan Ambrosini. Kreatornya tidak terlalu turun, yakni Seedorf dan Kaka.

Guardiola menangani Barcelona saat usia 37. Usia tersebut masih mampu mengolah si kulit bundar. Apalagi yang diandalkan Pep bukanlah kekuatan fisik, melainkan visi bermain. Tapi keberuntungan (atau kesempatan) datang saat ditawari melatih Barcelona. Diubahnya tim ini dari gaya super-ofensif—dari jaman trio Belanda, Cruyff, Van Gaal hingga Rijkard—menuju penguasaan bola yang nyaris sempurna.

Meski ada perubahan taktik yang cepat sepuluh tahun belakangan, hampir semua mengacu kepada Guardiola. Jadi walaupun ia ‘ditelantarkan’ sebelas tahun lalu, sekarang metode Tiki-Taka-nya menjadi kiblat semua pelatih: Menerapkan atau mematahkannya.

Sejak awal 2000 hingga sekarang kita bisa menyebut sebuah jatuh-bangunnya era Guardiolaisme.

Tidak ada komentar: