Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

1.31.2009

Berita Duka Cita Untuk ITB

Proses mistis sangat jarang menjadi kenyataan. Kalau saja muncul di hadapan, mudah-mudahan arwah Soekarno memaki rektor ITB sekarang. Ia dengan jelas mendukung pendidikan berbiaya tinggi bagi masyarakat.

Saya lupa nama rektornya. Sudahlah itu tidak penting. Sebab saya jelas mengingat tulisannya di harian Seputar Indonesia. Dalam tulisan yang terdiri dari dua bagian, ia jelas mendukung UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Ia menulis, universitas tak akan dianggap komersialisasi pendidikan seandainya universitas yang bersangkutan benar-benar menggunakan dananya untuk menunjang pendidikan, semisal penelitian dan fasilitas belajar-mengajar.


Sebagai institusi pendidikan, jelas saya setuju jika dana yang dipunya digunakan demi kemajuan pendidikan. Namun, sisi keberatan saya adalah ia setuju BHP dan seakan melihat yang kontra sebagai kumpulan yang salah kaprah. Ia harus mendekonstruksi ulang otaknya, saya kira.

BHP yang mensyaratkan sepertiga anggaran dilimpahkan ke masyarakat jelas kesalahan. Belum BHP saja kampus negeri sudah berlomba-lomba menawarkan bangku kuliah yang melangit. Apalagi dengan BHP?

Latar belakang sang rektor memang peneliti. Bekerja di ruang lab dan bergaul dengan alat-alat laboratori. Jarang saya kira, ia bergaul dengan masyarakat, terlebih masyarakat bawah. Adakah harapan bagi tukang becak menyekolahkan anaknya hingga sarjana? Cerita itu memang ada di artikel koran dan program-program layar kaca. Tapi, simak penuturan pelakunya (mahasiswanya). Mereka rata-rata harus berjuang, entah beasiswa atau bekerja paruh waktu. Ya, inilah cerita khas Laskar Pelangi.

Berapa banyak yang beruntung seperti itu? Sedikit. Pendidikan adalah hak semua warga. Sayangnya, kini, kampus menyortirnya jadi beberapa golongan. Dulu, sebut saja kampus di Depok, terdapat bermacam golongan dari tingkat ekonomi. Dari yang latar belakang buruh sampai pejabat pemerintahan ada. Sekarang, lihat saja. Cuma kaum bermobil yang bisa berkuliah disana.

Untuk ITB? Kabarnya bangku paling mahal bisa seharga mobil BMW. Kalau memang ITB mengincar orang-orang kaya, mengapa kaum super kaya lebih memilih bersekolah di Eropa, Amerika, atau Australia?

Kampus dalam arti komersil bukan hanya berarti membelanjakan uang seenak jidat. Tapi mengumpulkan anak-anak orang terkaya untuk menyubsidi kampus yang seharusnya tanggungan negara. Komersil dalam arti sifat, bukan hanya perilaku. Kepentingan riset, yang sangat dibutuhkan ITB (entah berguna atau tidak bagi bangsa), tidak sepenuhnya jadi tanggungan kampus. Jika Bandung saja bisa menciptakan Trans Bandung, kenapa dananya tidak dilimpahkan buat kampus untuk menciptakan moda transportasi yang murah bagi rakyat. Jika kampus didanai penuh negara, praktis keluarannya (baik riset maupun lulusan) harus menjadi donasi kampus bagi rakyat.

Tidak ada komentar: