Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

1.31.2009

Sepasang Sepatu dan Sebotol Air Mineral

Perasaan emosi memang mengalahkan rasionalitas. Jika cinta bisa membuat orang buta, maka emosi bisa bikin orang kalap.


Saya tidak tahu tepatnya tanggal berapa. Kira-kira kejadiannya menjelang tahun baru 2009. Yang bisa diingat adalah gambaran roket dan bangunan berwarna gading yang luluh lantak. Siaran RCTI itu mengoyak hati nurani. Perang dan perang lagi. Kali ini, giliran tanah Gaza yang kering menjadi basah. Ada hujan air mata, darah yang mengucur hingga tetesan keringat pemanggul jenazah wanita dan anak-anak Palestina membasahi Gaza. Jika ada etika perang, maka waktu itu etika cuma ada di silabus pendidikan militer Israel. Etika itu menghilang cepat, secepat roket-roket Israel menghantam rumah sakit di Gaza. Lalu hancur...


Penyebab agresi ini ditengarai akibat roket Hamas yang menyerang penduduk Israel. Disulut emosi yang tinggi, Israel membalasnya membabi buta. Seolah tak puas, bantuan kemanusiaan untuk Palestina diblokade Israel. Jalur Gaza dijadikan neraka buatan oleh Israel.

Setelah penyerangan awal Israel, saya sedang berada di kampus “hijau”. Sore hari saya lihat rombongan mahasiswa berjaket hijau berduyun menuju masjid. Ditegakkanlah bendera-bendera Palestina dan bendera salah satu organ ekstra mahasiswa berbagai ukuran. Rupanya mereka habis aksi menentang penyerangan Israel di Bunderan HI.

Saya memperhatikan seorang peserta. Rautnya wajahnya gusar, menyiratkan kebencian pada Israel. Saya melihat sepasang sepatu Nike yang dikenakannya. Peserta perempuan pun datang dengan kelelahan. Tak ragu, mereka pun meminum air mineral dari botol berlabel Aqua, anak perusahaan Danone.

Aksi mereka ternyata belum berujung ke sikap hidup. Padahal perusahaan seperti Nike dan Danone, yang kepunyaan orang Yahudi, mereka percayai sendiri mendanai perang Israel. Namun, mereka tetap mengkonsumsinya dan lupa memboikotnya. Saat mulut berteriak “anti Israel”, tangan dan kakinya malah mencengkram produk-produk zionis tersebut.

Kita tak bisa menutup mata bahwa Nike dan Danone, selain penyokong dana Israel, juga menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia. Akhir 2002, PT Dongson di Tangerang sebagai penyuplai sepatu Nike mem-PHK ribuan karyawan secara sepihak. Investor Nike kabur karena menganggap biaya produksi di Indonesia mahal. Lepas dari kenyataan, bahwa buruhnya telah diperas. Gajinya tidak sebanding dengan harga sepasang sepatu Nike yang jutaan.

Belum lagi ulah Danone di Indonesia. Melalui UU Air yang diterbitkan pemerintah, anak perusahaan Danone yakni Aqua, menguasai persediaan mata air di Jawa Tengah. Membiarkan lahan-lahan pertanian kering kerontang dan mengancam kehidupan petani. Petani jika ingin mendapatkan air untuk irigasi, harus membayar mahal. Padahal, segala sumber daya alam dan isinya diperuntukkan bagi kemakmuran rakyat, bukan perusahaan swasta.

Boikot, dalam kamus Oxford Learner’s Dictionary, intinya sebagai sikap protes. Terkait agresi Israel, negara-negara seperti Malaysia, Norwegia, Swedia, Rusia hingga Afrika Selatan menggemakan pemboikotan produk Israel dan Amerika. Amerika memang merupakan satu-satunya negara yang mendukung penyerangan Israel ke jalur Gaza.

Nampaknya kita harus jernih melihat pemboikotan. Mengikuti jejak negara-negara yang memboikot produk juga tak salah demi perlawanan ekonomi terhadap agresor Palestina. Akan tetapi bagaimana nasib buruhnya yang notabene warga lokal? Sikap emosional Israel jika dilawan dengan emosi pula tak akan memecahkan masalah. Kita akan cenderung abai terhadap solusi yang rasional.

Andai boikot ini jadi di Indonesia, ketakutannya hanya dilakukan segelintir dan sifatnya sementara. Begitu ada iklan yang menarik, kita pun berbondong-bondong membelinya lagi dan melupakan apa yang terjadi di jalur Gaza.

Seharusnya ada produk dalam negeri yang siap menandingi produk-produk ternama dunia dari Israel dan Amerika. Dengan begitu, ekonomi akan tetap terjaga. Pemerintah pun mesti mendorong usaha-usaha lokal berkembang, bukan menggusurnya dengan mall yang menjajakan KFC dan McDonald’s.

Kita juga harus siap menggunakan produk-produk alternatif khas lokal. Katakanlah, daripada kongkow-kongkow di Starbucks kepunyaan Amerika, maka sebaiknya nongkrong di warung kopi kepunyaan orang Cirebon. Suasana pun lebih bebas, karena kita bisa mengangkat kaki dan menunjukkan sepatu atau sandal asli Cibaduyut. Tanpa harus bersepatu Nike tapi menyembunyikannya di bawah meja seperti di mall. Dan kita tak perlu pusing lagi pada krisis global, sebab masing-masing rakyat mendukung perekonomian satu sama lain.

Tidak ada komentar: