Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

10.23.2009

Kisah Para Jago

Modal preman sederhana saja, hanya cukup punya nama besar, nyali dan kelihaian melobi. Mereka ingin menjadi “penguasa” diantara penguasa resmi.

Sekarang kawula muda mungkin bisa melenggang bebas berekspresi melalui rajahan tato di tubuh. Tren ini disemarakkan dengan hadirnya distro-distro rajahan gambar tubuh yang mulai tersebar di kota-kota besar. Namun, jika anak muda ini hidup di era pertengahan 1980-an, barangkali mereka akan berpikir dua kali.

Sekitar tahun-tahun tersebut dikenal dengan era “petrus” atau penembak misterius. Preman maupun yang dituduh preman dengan mudahnya diidentifikasi dengan tato di tubuh. Mereka ditembaki oleh orang-orang misterius lantaran dianggap mengganggu ketertiban umum. Dengan masifnya berita di koran tentang korban penembakan bertato, wajar jika masyarakat takut bersinggungan dengan orang bertato. Akhirnya, orang yang memiliki tato sekadar bergaya, mau tak mau, harus bersembunyi di kantor polisi meminta perlindungan.


Orang-orang bertato korban “petrus” pertengahan 1980-an lazim dikenal dengan sebutan gali, atau “gabungan anak liar”. Melihat permasalahan ini, seorang antropolog Universitas Cornell, AS, James T. Siegel, tertarik melihatnya lebih dalam. Ketimbang pembunuhan bermotif dendam, ia melihat ada hubungan yang tersembunyi. Dalam buku A New Criminal Type in Jakarta, Siegel menyatakan bahwa gali sebenarnya adalah penjahat kelas teri dan anggota geng. Banyak dari mereka bekerja dengan penguasa saat itu. Utamanya sebagai penjaga “tak resmi” dari kekuasaan lewat jalan kultural kemasyarakatan. Sebab rata-rata mereka ditakuti di kalangan sosial tempat mereka berada. Mereka kemudian dibuang oleh penguasa yang menyewanya. Kembali menjadi preman pasar, terminal, stasiun maupun tempat-tempat umum lainnya. Mereka diputuskan untuk dihabisi daripada mengganggu stabilitas kekuasaan saat itu.

Dari Relasi Kekuasaan Ke Jalanan
Melihat sejarah keterhubungan preman atau jago di masyarakat dengan penguasa sebenarnya sudah ada sebelum periode penjajahan. Sebutan preman kala itu bermacam-macam, tergantung tempat dan situasi. Dari nama gali, bromocorah, blater, weri, brandal, tukang pukul, jagoan, benggolan, dll. Tampilnya preman atau premanisme turut memberi catatan penting dalam sejarah politik kekerasan Indonesia.

Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong, menilai jago adalah orang kuat setempat baik fisik maupun spiritual. Mereka rata-rata memiliki ilmu kebal. Modal untuk menjadi seorang jago sangat sederhana. Tak butuh sekolah yang tinggi atau keturunan “darah biru”. Hanya kharisma tenar, nyali sebuas macan dan kelihaian lobi bak ular. Namun, jika merujuk deskripsi preman menurut kepolisian saat ini –yaitu seseorang yang memeras, melakukan kekerasan, membunuh, mengancam, memalak dsb— maka preman dapat bermakna luas.

Masih ingat kisah Ken Arok? Si penguasa Singosari itu dapat pula dibilang preman melihat latar belakangnya. Ia mulai dikenal namanya sebagai bandit dan jawara. Di zaman pra-kolonial sebutan bandit, jawara atau centeng sudah jamak. Ia adalah cikal bakal langgengnya hubungan preman dengan kekuasaan lewat jalur “bawah tanah”.

Pada masa pra-kolonial, organisasi preman merupakan alat penguasa satu-satunya. Dalam suatu masyarakat, memang akan selalu muncul penentang ketertiban. Oleh karena itu, organisasi preman (jago) sering digunakan penguasa untuk meredam orang-orang yang mengganggu tatanan sosial masyarakat tersebut. Soemartono, peneliti sejarah, mengistilahkannya “maling menangkap maling”.

Legitimasi sang jago selain dukungan kekuasaan, juga akibat legitimasi dari bawah. Ubaidillah Badrun, peneliti sosiologi Universitas Negeri Jakarta, menyebut landasan kultural suatu kelompok menjadi faktor penguatnya. “Seperti generasi komunitas jawara yang turun temurun,” katanya.

Ia memaparkan budaya kekerasan, baik psikologis maupun fisik, yang disebarkan preman membuat masyarakat menurut. Ini terjadi pada fase masyarakat yang sedang limbung, tambahnya.

Tak heran, jika penguasa keraton-keraton masa lampau memunyai banyak pengikut. Sebab sebagian besar dari mereka berisi organisasi-organisasi jago. Sifat-sifat patronase masih menjadi corak pokok dari organisasi jago.

Dulu, salah satu raja terkenal Jawa, yakni Amangkurat I disebut-sebut sebagai preman. Pasalnya ia membunuh siapapun yang menghalanginya berkuasa dan membawahi sejumlah organisasi jago waktu itu. Kepemimpinannya diwarnai pembumihangusan warga dan pembunuhan anggota keluarganya sendiri. Awalnya, ia dianggap psikopat, tapi ia justru dianggap menjalankan metode raison d’etat (rasio kenegaraan) kala itu. Serupa dengan pemahaman Machiavelli, menghalalkan segala cara demi keagungan negara, walau keputusannya membunuh rakyatnya sendiri.

Inilah metode yang dipakai oleh organisasi preman hingga kini. Kemenangan diatas segalanya. Salah dan benar hanya bayangan samar.

Kalau preman dalam masa kerajaan masih di bawah bayang-bayang raja, maka di zaman penjajahan Belanda preman berani muncul ke permukaan. Namun pola patronase masih tetap, hanya berganti ke pentolan organisasi preman. Sayap kekuasaanya pun melebar. Mereka tidak hanya menguasai lokasi-lokasi umum, namun sampai ke jaringan-jaringan tenaga kerja dan pedagang. Kolonial waktu itu memang mempunyai kelemahan dalam strateginya. Dominasi Belanda tak mampu merasuki kehidupan masyarakat hingga ke akar-akarnya. Penguasa lokal tingkat kabupaten justru yang memiliki banyak jago-jago. Perlawanan Belanda mengandalkan polisi-polisi kota menghadapi preman terasa percuma.

Di masa menjelang kemerdekaan, preman pun punya peran penting. Dengan sumber daya minim dan masa yang sedang bergejolak, organisasi preman dilirik oleh organisasi progresif. Di Batavia yang terkenal antara lain adalah Bang Pi’ie dan Camat Nata. Pada saat Orde Lama Bang Pi’ie pernah menjabat Menteri Urusan Keamanan Rakyat di kabinet 100 menteri tahun 1966. Sedangkan Nata menjadi Camat di Batavia. Waktu itu, preman-preman terkenal memang mengincar jabatan kekuasaan formal.

Aksi-aksi organisasi preman dulu masih dibilang bentuk perjuangan dengan merampok Belanda untuk kemudian dibagikan ke rakyat. Sayangnya, aksi itu menjadi tindakan brutal saat mereka menggabungkan perampokan dengan patriotisme. Sasaran mereka yaitu rakyat sendiri, yaitu orang-orang Timur (Ambon dan Timor).

Lantaran aksi-aksi brutal, jabatan-jabatan kekuasaan formal kian menjauh. Banyak yang menobatkan diri mereka sendiri jadi penguasa kawasan atau jalanan. Mereka ingin menguasai tanpa mengusik kekuasaan resmi. Haji Ahmad Khaerun, penguasa Tangerang, bahkan dengan lantang menyatakan Tangerang sebagai daerah otonom.

Lambat laun generasi preman mulai berganti. Yang tua mulai menjalani kehidupan normal. Untuk yang muda, mereka membentuk geng-geng. Mereka bergerak bersama tanpa patron yang kaku.

Kemunculan geng ini dicirikan melalui simbol-simbol pakaian dan sepeda motor. Tahun 1960-an dan 1970-an, di Medan dan Bandung muncul istilah cross boy, gerombolan pemuda yang berkerumun di perempatan jalan. Ada geng dari anak-anak orang kaya yang selalu pesta pora dan hura-hura. Penampilannya seperti James Dean dan Rock Hudson, artis tenar Hollywood waktu itu. Kaum hawa juga punya geng, mereka bernama Selendang Biru dari Surabaya. Dari selera musik, tahun 1960-an ada geng AKA di Jakarta. Penggemar musik dangdut, ada juga. Mereka bernama Besi Tua, berasal dari etnis Madura dengan latar belakang ekonomi masyarakat bawah.

Terdapat perbedaan preman Indonesia dengan preman lain. Di Cina, pentolan preman bergabung menjadi organisasi mafia Triad. AS punya organisasi mafia yang berasal etnis Italia (Sisilia) yang berseteru dengan polisi yang mayoritas keturunan Irlandia. Organisasi di luar bersifat langgeng dan setara dengan kekuasaan resmi. Sementara itu, organisasi preman Indonesia seperti patah tumbuh hilang berganti. Sejarah mencatat, tanpa relasi dengan kekuasaan preman atau jago tidak dapat berkembang. Kekuasaan dan preman sama-sama saling menunjang. Preman Indonesia kini hanya menduduki lingkar-lingkar kecil masyarakat sambil bertumpu pada job dan order.

Tidak ada komentar: