Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

1.13.2010

Biar Urakan, Yang Penting Jempolan (resensi film Sherlock Holmes)

Nampaknya tren film sekarang adalah penyegaran film-film klasik. Terutama soal bagaimana menggeser mainstream lama yang kadung melekat. Film-film ikonik (biasanya superhero) dirubah dari segi cerita dan penokohan. Simak saja serial Batman dan James Bond versi layar lebar. Tokoh utama kedua film tersebut mengalami transformasi karakter yang tak terduga sebelumnya.

Namun, untuk film Sherlock Holmes penyegaran itu terasa mengasyikkan. Dijamin Anda tertawa menyaksikannya (paling tidak tersenyum). :-) Sehabis saya menonton film ini (Selasa, 13/1), langsung ingin menonton lagi. Maklum, soalnya tadi tertinggal 15 menit, hihihi :p

Kepolisian Inggris kalang kabut dengan kasus pembunuhan berantai. Detektif Sherlock Holmes (Robert Downey Jr.) dipercaya menangani kasus ini dan menangkap si pembuat ulah yang sedang dicari-cari, Lord Blackwood (Mark Strong). Ditemani Dr. John Watson (Jude Law), Blackwood akhirnya tertangkap dan dihukum mati. Soal penyelidikan, Sherlock memang andalan kepolisian Inggris.


Blackwood pun digantung. John Watson yang seorang dokter, telah memastikan Blackwood tak bernyawa lagi.

Blackwood disinyalir punya ilmu hitam. Seakan menguatkan anggapan tersebut, Blackwood berhasil bangkit dari kubur dan kabur dari pemakaman. Peti matinya digantikan oleh seorang berperawakan pendek berambut merah. Orang pendek ini dicurigai Sherlock punya keterkaitan dengan seluruh rencana Blackwood.

Sebelumnya mantan pacar Sherlock, Irene Adler (Rachel McAdams), menawarkan pekerjaan kepada Sherlock mencari orang pendek yang dimaksud. Irene ternyata bekerja kepada profesor misterius yang ingin mengambil keuntungan dari pertarungan Sherlock versus Blackwood. Dengan penyamaran dadakan, Sherlock mengetahui konspirasi itu tapi tak ambil pusing.

Alur ceritanya seolah berantakan di awal, terutama kemunculan Irene. Namun titik temu tersibak menjelang akhir cerita. Inilah yang membuat ceritanya asyik, karena agak sulit ditebak.

Blackwood sebetulnya ingin menguasai Parlemen Inggris dan menciptakan tata dunia baru, atau “new world order”. Dalam perjalanannya, Blackwood membunuh ayahnya sendiri demi menguasai klan Empat Ordo. Empat Ordo adalah semacam sekte persaudaraan rahasia kalangan parlemen Inggris yang dipimpin ayah Blackwood, saat itu menjabat Mahkamah Agung. Label ilmu hitam dipakai Blackwood untuk memproduksi ketakutan massal. Empat Ordo hanya boncengannya menuju parlemen.

Logika deduktif benar-benar senjata ampuh Sherlock. Analisisnya mengejutkan. Selidik sana selidik sini, Sherlock akhirnya mengumpulkan serpihan fakta penting dari Blackwood. Sebagian besar dari penyelidikan ke rumah orang pendek itu.

Orang pendek itu diperalat Blackwood untuk mengembangkan teknologi demi kejahatan. Teknologinya mutakhir pada zamannya, seperti senjata kimia dan transmitter jarak jauh (contohnya sekarang adalah remote control).

Rencana pembunuhan parlemen oleh Blackwood digagalkan. Segala teror dan ilmu hitamnya bisa dipecahkan Sherlock. Bahkan cara Blackwood mengelabui kematiannya dapat diurai dengan logis. Sherlock sedari awal memang sangsi terhadap ilmu hitam Blackwood.

Di akhir film, ternyata profesor misterius itu tidak mengincar senjata kimia, melainkan teknologi transmitter jarak jauh. Sialnya, film berakhir dengan misteri dan tugas baru bagi Sherlock Holmes. Lagak-lagaknya bakalan ada sekuelnya. ^_^

Film Sherlock Holmes mengikuti skema jagoan sidekick. Umumnya ada kekontrasan karakter peran. John Watson, selain dokter cerdas, adalah tipe masyarakat kelas menengah Britania yang pesolek, mandiri dan mapan. Sementara Sherlock berseberangan hampir keseluruhan. Seperti kita tahu, ia adalah detektif cerdas dan intuitif. Namun pribadinya nyentrik, jarang mengurus diri (muka kusam dan jas kusut) serta menumpang di apartemen John Watson. Pertemanan keduanya diwarnai bumbu benci tapi rindu, atau love-hate relationship.

Benar seperti dalam preview Kompas tentang film ini. Unsur komedi begitu kentara. Untunglah, yang melucu justru tokoh utama. Apalagi pas adegan dialog yang membuat jengkel tunangan Watson, Mary. Kasihan sih pada Mary, tapi saya tak tahan untuk tertawa. Hehehe...

Beruntung pemeran Sherlock seorang aktor kocak, Robert Downey Jr. Ia lebih dulu berperan humoris di film Iron Man. Sekilas ia dirasa cocok berperan aristokrat atau pengusaha muda. Begitu pula Jude Law, yang lebih pas di film romantis dewasa. Film Sherlock Holmes sepertinya ajang pembuktian keduanya sebagai aktor papan atas.

Film ini latarnya keren. Lanskap London abad 19 tervisualisasi apik, lengkap dengan Jembatan London yang belum jadi. Jalanan becek dan kawasan slum di London masih banyak. Kostum pun digarap serius. Guy Ritchie, sutradara film ini, jelas tidak main-main membuatnya.

Sinematografi juga tak kalah bagus. Teknik pengambilan kamera hampir 360 derajat pada beberapa adegan terlihat mantap. Mirip kamera di pertandingan Liga Champion, tapi ini lebih keren.

Guy juga menyuguhkan rasa lain. Meskipun asalnya dari novel berjudul sama karangan Sir Arthur Conan Doyle, Guy melakukan beberapa adaptasi karakter dan penampilan Sherlock. Dalam novel terbitan 1887 itu Sherlock sering mengenakan jas panjang, ditambah dengan pipa tembakau. Kalau di film terkini, jasnya dibuat pendek dan punya alat penyelidikan lengkap di sabuknya. Tapi simbol pipa tembakau masih dipertahankan.

Film bergenre adventure-action Sherlock Holmes ini terkesan keras. Tak cuma adu cerdik tetapi banyak pula adegan perkelahian. Puaslah saya menonton film ini.

Dapat pengetahuan juga. Hmm, orang-orang pintar atau dukun dahulu nampaknya memakai ilmu kimia dan fisika dalam pendemonstrasian ilmunya. Menciptakan kondisi seseorang tunduk pada irasionalitas. Ujung-ujungnya tunduk pada si empunya ilmu hitam. Kata Sherlock, “jangan dulu berteori sebelum ada data.”

(FYI, nama komik detektif Conan dari Jepang diambil dari penulis novel Sherlock Holmes.)

Hendro

Tidak ada komentar: