Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.21.2011

Revolusi Satir


Rise of the Planet of the Apes
Rilis : September 2011 (Indonesia)
Produksi : Dune Entertainment
Sutradara : Rupert Wyatt
Penulis Naskah : Amanda Silver dan Rick Jaffa
Pemain : James Franco, Andy Serkis, Freida Pinto, John Lithgow

Siapa berani pada kumpulan kera yang bersatu?


Tak ada netralitas dalam halnya revolusi. Kita mendukung atau mengutuknya. Namun revolusi manusia versus simpanse dalam film Rise of the Planet of the Apes adalah drama satir buat kita, manusia.  Lewat tekniknya di bagian akhir film, sutradara Rupert Wyatt, memang membiarkan penonton memilih. Tentu saja, jika mengikuti alur cerita sedari awal, mungkin Anda (dan sudah pasti saya), akan membela kumpulan simpanse brutal itu.

Film ini dimulai oleh kemampuan spesial hewan ujicoba simpanse bernama Bright Eyes. Dinamai begitu, sebab sejak ia diujicobakan obat terbaru penyembuh Alzheimer, retina matanya berubah kehijauan (Bright Eyes). Kecemerlangan ini membuat tertarik pihak pendana riset. Saat presentasi, si penemu obat William Rodman (James Franco) terkejut pada serangan tiba-tiba Bright Eyes di meja pemegang saham. Ia pun akhirnya mati oleh peluru petugas keamanan. Proyek obat itu dihentikan.

Tanpa diketahui perusahaan, Will mencuri obat itu. Sampel obat yang diambil kemudian disuntikkan ke ayahnya Charles Rodman (John Lithgow) yang menderita Alzheimer stadium lanjut. Will juga diam-diam memelihara anak Bright Eyes yakni Caesar (Andy Serkis). Tahun berlalu, kebahagiaan Will meningkat. Selain ayahnya memperlihatkan tanda-tanda sembuh, Caesar, akibat pengaruh genetis ibunya, juga mengalami kemajuan intelejensi dan kecerdasan melebihi anak manusia seusianya . 

“Saya suka simpanse, sekaligus takut terhadapnya,” ujar Caroline Aranha (Freida Pinto) kekasih Will. Sebagai dokter hewan kebun binatang, ia hapal betul perilaku simpanse. Muda dan memiliki intelejensia tinggi, Caesar diakui nampak menggemaskan. Namun saat beranjak dewasa, Caesar bisa liar dan agresif.

Perlawanan Caesar mulai muncul tatkala ia mempertanyakan Will apakah ia hewan peliharaan atau bukan. Will lalu memperlihatkan sejarah asal mula dari Caesar. Di kantor Will, kisah hidup ibu Caesar diakhiri. Itu membuatnya geram.

Perkembangan naluriah hewani Caesar kian tak terbendung. Apalagi kala melihat ayah Will dikasari tetangga. Tanpa ampun Caesar menyerang tetangga kasar itu. Dengan semua saksi saat kejadian, Caesar terpaksa dikurung ke tempat penampungan kera.

Ditengah emosi yang mengganas, tempat penampungan bukanlah ruang bersahabat dan curahan kasih sayang bagi Caesar. Siksaan fisik dan batin ia alami. Pemandangan trenyuh saat si antagonis Dodge Landon (Tom Felton) menyemprot selang pemadam ke arah Caesar. Nama terakhir ini tenar dalam peran antagonis franchise Harry Potter, si Draco Malfoy.

Di satu sisi, pengobatan Will mulai menunjukkan kegagalan. Alzheimer ayahnya kian mengkhawatirkan dari sebelumnya. Hingga akhirnya ia mencipta obat lebih kuat yang justru calon wabah bagi manusia. Ajaibnya, obat itu malah bekerja ampuh dan cepat menambah kecerdasan pada kera.

Kita patut angkat topi pada Rupert Wyatt dan tim penulis Amanda Silver dan Rick Jaffa. Ia mampu lolos dari jebakan cerita bagaimana menyatukan para kera dalam sebuah revolusi terstruktur? Mustahil jika membayangkan mereka tak punya bahasa, bodoh dan primitif dapat menundukkan sekumpulan polisi. Rupert dan timnya membuatnya jadi masuk akal dan tidak mengawang-awang.

Rupert pun tetap mempertahankan genre action thriller pada film ini. Memang ada sedikit drama pada adegan Will meninggalkan Caesar tanpa kejelasan di penampungan. Pun bagaimana sayangnya Caesar pada Charles. Soal invasi kera juga tak lantas membuatnya jadi film horor.

Bagaimana dengan sains fiksi? Obat-obatan dan rumus kimia itu dengan mudah diterjemahkan awal kepintaran Caesar dan pasukan keranya.

Laju emosional menaik cepat di tiap adegan. Meski ada bagian adegan yang lemah di awal, tapi sisi emosi dibangun dan mencapai puncaknya saat Caesar mulai berbicara bahasa manusia. Kata pertamanya adalah “No” untuk perlakuan kasar yang mereka terima dari manusia.

Latar kota San Fransisco dengan Jembatan Golden Gate-nya dikemas brilian. Pertempuran, adu taktik dan strategi berjalan pas di panggung megah ini.

Dalam film ini kita dipaksa sibuk memperhatikan karakter simpanse dari Caesar. Hal ini berpengaruh banyak terhadap kualitas akting para pemeran manusia: James Franco, Freida Pinto dan Tom Felton. Tidak buruk, hanya saja pemeran manusia disini pelengkap semata. Utamanya adalah Caesar.

James Franco sebagai dokter berperan krusial, tapi tidak cukup banyak dapat adegan. Sementara Tom Felton masih terlekat karakter Draco Malfoy-nya Harry Potter yang menyebalkan dan sok tahu. Bedanya si Malfoy versi lusuh ini akhirnya mati dengan cara yang dinikmati penonton: Kebodohannya sendiri.

Mengapa Caesar spesial? Jawabnya teknologi performance-capture. Inilah yang ditakutkan para aktor ketika teknologi mulai menggantikan mereka di depan kamera. Teknologi ini fokusnya menangkap gerakan dan ekspresi muka Andy tanpa cela. Jadilah Caesar dengan karakter yang sangat kuat. Andy Serkis, si pemilik muka Caesar dengan baik memerankan mimik kera yang emosional, serius, sendu dan kadang manja.

Teknologi performace-capture
Meski menggunakan teknologi terbaru, namun tangan Rupert-lah penentu suksesnya. Teknologi hanya mendukung film, bukan sebaliknya. Mungkin jika melihat Transformers, kita takjub pada performa sci-fi Steven Spielberg. Itu tidak terjadi pada Rise of the Planet of the Apes. Namun harus diakui, penampilan Caesar tanpa dukungan teknologi tersebut bak melihat film King Kong yang usang dihidupkan kembali.

Pada akhirnya dengan kecerdasan Caesar mengelola massa, bangsa kera meraih kebebasannya. Meski ending agak gantung, saya terlanjur terkesima dengan jalan cerita Rise of the Planet of the Apes. Ada ketakutan tersendiri bagaimana kekuatan justru dimiliki kera. Disini Malfoy kucel menjadi kehilangan sifat luhur manusia (menyayangi makhluk lain). Di lain pihak, Caesar tumbuh sifat yang harusnya dimiliki manusia (persatuan, rasa senasib sepenanggungan). Paradoks. 

Tidak ada komentar: