Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.01.2009

Euforia

Saya tak ingat hari itu hari apa. Sudah beberapa tahun lewat. Saya dan beberapa teman makan bersama, suatu sore di kantin kampus yang telah tiada. Mulanya perbincangan cukup seru, kami menera masa depan dengan harapan. Harapan yang tidak adil, saya kira.
Obrolan kemudian berangsur menyebalkan.


***

Saya bertanya pada salah satu teman perempuan (saya pilih kata “perempuan” karena katanya “wanita” adalah ungkapan merendahkan: Wanita dalam frase bahasa Jawa berarti “wani ditata” atau berani/bisa diatur. Entahlah...).

“Lo pengen suami kayak apa ntar kalo udah nikah?” tanyaku.

Ia menjawab, “Suami yang bisa mengerti gw. Suami yang bisa membebaskan gw untuk ga terus-terusan berada di rumah. Bisa bolehin gw kerja.”

Saya jawab singkat, “Oh...” Lalu pertanyaan itu saya ajukan ke semua orang, dengan balasan jawaban berbeda pula.

Pertanyaan itu kemudian berbalik ke saya. Karena saya belum memikirkan sejauh itu, jawaban simpel keluar. “Yang penting bisa masak.”

Saya dapat kritikan keras dari teman perempuan. Ia bilang terlalu sederhana dan terlalu bersifat diskriminasi gender. Bertubi-tubi serangannya, dari yang masak tak selalu identik perempuan sampai koki yang mulai didominasi kaum Adam.

Menyebalkan. Jika ia punya keinginan, mengapa saya tak boleh punya hal serupa.

***

Bertanya dalam hati; mengapa persoalan memasak dimasukkan dalam urusan gender. Sederhananya, saya tak bisa memasak karena hal itu termasuk sulit. Maka dari itu saya menghargai seorang ahli masak. Semua orang bisa belajar, tapi tiap orang berbeda rasa masakannya. Memasak adalah seni. Ada segi estetis dan perasaan terlibat didalamnya.

Saya pahami, (dan mungkin baru ia pahami sekarang) bahwa ia masih dalam euforia feminisme. Tak ada yang salah dengan feminisme, perlawanan terhadap penindasan laki-laki pada perempuan. Namun, apakah feminisme (versinya) ingin mengusahakan persamaan atau melampaui gender yang lain?

Euforia. Kesenangan atau ketertarikan yang sangat. Tanpa imbalan atau pengakuan sekalipun, kita selalu ingin selamanya menyelami euforia. Gemerlapnya bisa bikin silau.

Jadi teringat pada artikel Kompas. Saya kembali tak ingat tanggalnya. Namun foto masih lekang di kepala: Patung Lenin yang besar dan tegak, di sisi jalan yang dipenuhi gerai McDonald’s dan distro internasional seperti Gucci, Prada, Levi’s dll.

Sejak revolusi Bolshevyk 1917, Uni Soviet gegap gempita menyambut lahirnya paham baru, yakni Komunisme. Lenin meyakini paham inilah yang bisa mengantar Uni Soviet adikuasa. Menjelang Perang Dingin usai, Uni Soviet kolaps perlahan. Komunisme tak laku lagi. Paham ini hanya cocok berada di buku sejarah. Kini Rusia...

Menjelang akhir milenium, Rusia jadi semacam hunian taipan minyak dunia. Semangat liberasi sangat kuat. Euforia kebebasan ekonomi baru. Sambutan merek dagang dunia sedang laku-lakunya. Korupsi, bukan lagi jalan pintas, melainkan sudah jalan umum menuju kekayaan (mungkin karena disana tidak percaya tuyul atau pesugihan, hehe;p).

Euforia mungkin berbentuk hobi, ideologi, ilmu atau hal tertentu. Lumrah, sebab kita kerap terdorong nafsu menyenangi sesuatu. Kadang benar. Kadang salah.

Sering terdengar celotehan miring bagi penggemar gadget atau techno-freak terlihat sebagai penderita autisme. Menikmati dunia sendiri. Mungkin pula mahasiswa yang sedang hangatnya diskusi Marx yang usang di ruang-ruang terpencil kampus. Lalu menganggap semua sistem adalah kesalahan.

Apalagi yang sedang giat-giatnya ikut MLM. Baginya, semua orang adalah downline, setiap obrolan adalah penjualan dan kalau mungkin update rekening semudah update status Facebook. Terasa berlebihan? Tidak juga, jika dilihat dari sisi non-agen MLM.

Hal-hal sederhana memang menuntun pada hal-hal ekstavagant. Sebuah apel bisa memunculkan rahasia planet Bumi, bernama ilmu gravitasi. Pengalaman-pengalaman kecil juga bisa menuntun kita pada euforia, ketakjuban yang wah. Namun terkadang kita tak melihat itu hanyalah rangkaian pengalaman dari perjalanan hidup yang panjang. Rangkaian yang akan membawa kita ke rangkaian lainnya.

Yang dapat menghentikan euforia, salah satunya adalah culture shock. Ambil contoh orang urban ke kota yang gemerlap. Disilaukan kerlap-kerlip ibukota, sampai-sampai gengsi adalah harga diri. Meski tidak semua, tapi bukan berarti korban bujuk rayu kota tidak sedikit.

Siapa tak suka berada dalam euforia? Gemerlapnya bikin silau. Jika tak lekas berkedip, kita akan buta. Euforia, sebentuk sindrom Hitler yang mudah lapuk. Berlebihan dan membuat sebal, karena kita sebenarnya tahu waktu bakal membuatnya jera.

Tidak ada komentar: