Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

3.20.2012

Menyentak Tapi Tak Juara


Moneyball
Sutradara : Bennett Miller
Rilis: Oktober 2011
Penulis Naskah: Steven Zailan dan Aaron Sorkin
Pemain : Brad Pitt, Jonah Hill dan Phillip Seymour Hoffman

Billy Beane adalah sosok unik; satu sisi pikirannya taklid pada statistik, di sisi lain ia tak mampu menafikan takhayul dalam dirinya.


Film ini didasari novel berjudul sama, dengan subjudul novelnya yang cukup provokatif: The Art of Winning an Unfair Game (Seni Memenangi Pertandingan Yang Tak Seimbang). Kalimat itulah yang menjadi daya magis film ini. Manajer tim, Billy Beane (Brad Pitt), rupanya sudah muak dengan rentetan kekalahan timnya Oakland Athletics. Hanya berkutat jadi tim gurem pemroduksi pemain hebat. Ia lantas meminta dana lebih pada pemilik klub untuk mempertahankan pemainnya. Usahanya gagal, sang pemain bintang tetap pergi.

Pertemuan dengan pencari bakat dan pelatih pun sama saja. Bagi Beane, hanya lingkaran setan. Mereka terus mengorbitkan bibit berbakat cuma untuk dijual pada tim kaya. Dananya untuk pencarian bibit lagi. “Kita selamanya tak akan menyamai standar mereka (tim kaya),” papar Beane.


Beane memutar otak. Mencari pemain murah namun berkualitas. Usahanya terlihat sia-sia sampai ia bertemu Peter Brand (Jonah Hill), fresh graduate dari Yale jurusan ekonomi. Atas analisanyalah hidup Beane dan seluruh tim kelak berubah.

Beane terkesima pada cara berpikir Brand—analisis seputar home run, tangkapan di base hingga persentase pukulan. Selain itu, Beane terlampau jengah dengan metode kuno perekrutan berdasarkan insting pencari bakat.

Tiga pemain hebat yang sudah hengkang memang diprediksi akan sulit dicari gantinya. Beane dan Brand kemudian mulai mensortir pemain yang berada di liga berdasarkan statistik. Tak lagi mereka mencari bakat-bakat muda. Kali ini mereka mengincar prestasi.

Art Howe (Phillip Seymour Hoffman), salah satu pencari bakat tak suka cara perekrutan mereka. Terlebih pemain-pemain yang mereka pilih rata-rata bermasalah: Cedera parah, bintang yang sudah gaek dan indisipliner. Hal ini seperti melanggar pakem bisbol. Meski ditentang banyak pihak, tim tetap berjalan dengan pemain-pemain baru macam Scott Hatteberg (Chris Pratt), David Justice (Stephen Bishop), dan Chad Bradford (Casey Bond).

Dalam perjalanannya, tim racikan duet statistik ini penuh onak duri. Dimulai dari pelatih yang cenderung memilih pemain bintang, ketimbang pemain baru. Prestasi yang makin merosot jadi ladang kecaman Art Howe.

Namun Beane sangat berpendirian kuat. Ia sangat paham, jika pemain pilihan para pencari bakat juga tak berarti bagus. Dahulu, Beane juga pernah digadang bakal jadi pemain top oleh Art Howe. Ia rela meninggalkan bangku kuliahnya di kampus ternama diisi orang lain. Ternyata Beane bermain buruk. Beane, produk masa lalu Art Howe, sangat marah. Metode insting semata itu juga menelan masa depannya. Kini demi masa depan tim, ia memecat Art Howe.

Pada dasarnya film ini mengisahkan kembali kenangan heroik tim bisbol Amerika Oakland Athletics pada musim 2002. Kala itu dengan gaji pemain dibawah rata-rata dan pemilihan pemain yang nyentrik, Athletics mampu mengukir sejarah tak terkalahkan dalam 20 pertandingan. Sejarah baru bisbol Amerika yang sulit disamai di jaman modern seperti sekarang.

Kekalahan pertama setelah deretan keberhasilan malah terjadi di babak Play Off. Mereka tak juara. Dari itu semua, metode Beane telah merevolusi gaya transfer bisbol masa kini. Selain kejelian pencari bakat, tim juga mesti melengkapi diri dengan data-data pemain incaran mereka.

Saya, sebagai penonton awam bisbol merasa kagum dengan film drama-olahraga ini. Jalan cerita yang menyentak nurani cukup menutupi ketidakmengertian tentang bisbol. Setelah berhasil di The Social Network, Aaron Sorkis nampaknya ingin merangkul fans bisbol Amerika dengan menulis Moneyball. Ia berhasil, bahkan bagi yang tak menggemari bisbol sekalipun.

Beane, yang muncul hampir keseluruhan film, diperankan nyaris sempurna oleh Brad Pitt. Bertumpuk-tumpuk dialog, ragam debat argumentasi dan kegeraman fisik-psikis sangat terlihat. Brad Pitt sepertinya bermain dengan kompleksitas peran. Karakter Beane yang di luar terlihat percaya diri dan berapi-api, namun dalam kesendiriannya kita dapat melihat rasa sakit dan frustasi yang dalam.

Meski gemar statistik, Beane juga percaya takhayul. Ia tak pernah mau menghadiri timnya saat bertanding. Bermodal siaran radio, Beane hanya mendengarkan perkembangan timnya. Baginya lapangan itu menyimpan memori buruk masa mudanya. Dengan kesuksesan timnya, Beane di akhir cerita ditawari Boston Red Sox. Kontraknya bisa menjadi terbesar di dunia bisbol. Namun ia menolak.

Satu nama lagi: Jonah Hill. Sang analis dalam film ini cocok mendukung keseluruhan cerita. Tampangnya yang lugu nan cerdas bisa membuat karirnya menanjak di film berikutnya. Saya ingat dia di film Accepted. Ia bermain baik pula di film tersebut.


Well, akhir cerita. Film ini rekomendasi bagus. Apalagi ada keterkaitan dengan Liverpool. Konon, sejak itu Red Sox mengimplementasi metode Beane. Red Sox juara setelah 36 tahun puasa gelar. Inisiator Red Sox adalah John W. Henry pemilik Fenway Sports Groups. Selain memiliki saham terbesar Red Sox, ia juga mengakuisisi Liverpool setahun silam. Metode untuk Liverpool juga sama: mencari pemain berdasar statistik.

Tidak ada komentar: