Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

2.05.2009

Katakan Busway, Bukan TransJakarta

Mengganjal. Saya pernah merasa kesal waktu dipersalahkan saat mengucap, “busway.” Kira-kira begini kronologisnya;

Saya : Ya kan gue bilang juga apa. Gue dateng pas jam 9.
X : Tumben. Lu naek apa emangnya?
Saya : Gue tadi abis naek busway dari Blok M.
X : Hahaha... Salah kali. Yang bener tu naek bus TransJakarta. Masak lu anak bahasa Inggris gak ngerti artinya busway. Kan itu artinya jalanan untuk bus. Masak lu naek jalanan bus?


Sial. Perkataan teman saya seharusnya tak menyinggung institusi tempat saya berkecimpung tahun-tahun belakangan. Ya namanya juga orang. Kita sebagai subyek (yang maunya merdeka) juga bakal terus “diasosiasi” dengan objek atau status yang pernah/sedang melekat.

Ternyata fenomena ini menyebar kemana-mana. Dalam rubrik Bahasa! Majalah Tempo, seorang dosen mengkritiknya karena banyak orang sering mengucap busway. Dosennya saya ingat betul, namanya Jos Daniel Parera. Dia memang ahli bahasa, dan saya pernah mengambil mata kuliahnya. Saya dapat nilai B. Alasannya sama seperti teman saya itu, bahwa busway dalam bahasa Indonesia berarti jalan bus. Lebih tepatnya jalanan bus. Jadi, kalau mau bicara sebaiknya gunakan kata TransJakarta. Mengucap busway seperti sebuah kesalahan fatal dalam berbahasa.

Ya, dalam penggunaan teknis bahasa lebih tepat naik bus TransJakarta. Tapi bukankah bahasa bersifat dinamis? Alasan yang dikemukakan dosen itu juga kurang tepat. Terlalu harfiah mengartikan busway. Gabungan dua kata: bus dan way tidak serta merta diartikan jalanan bus. Saya rasa lebih tepat busway merujuk pada salah satu dari rangkaian sistem transportasi massal kota. Sama seperti ojek, bus kota, angkot atau becak.

Kalau memang salah, berarti kita juga salah mengucap “naik bus kota” atau “naik ojek”. Apakah kita harus mengucap nama perusahaan/pemilik transportasi itu? Semisal “naik bus Himpurna, Mayasari Bakti dsb” atau “naik motornya Pak Rojali”.

Tidak semua ungkapan bahasa Indonesia diterjemahkan sama begitu saja dalam bahasa Inggris. Contoh: Mati Lampu (bahasa Indonesia). Dalam ungkapan bahasa Inggris tidak langsung diartikan “Dead Lamp”. Bodoh sekali jika seperti itu. Ungkapan “mati lampu” dalam bahasa Inggris itu “black out”.

Bangsa kita terlanjur hobi mengkritik atau memuji, namun tidak berdasarkan konteks. Seorang guru besar pun bisa melakukan kesalahan fatal. Saya akan lantang mengucap “naik busway” ketimbang “naik TransJakarta”. Kata “saya naik busway” akan langsung mengacu pada salah satu komponen dari sistem busway, yaitu busnya. Lagipula, wajar jika ada kata yang mengalami penyempitan makna. Orang lain saya kira sudah paham maksud kata baru itu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Lumayan, nambah ilmu.