Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

2.05.2009

Semalam Dengan Robert Frost

Sangat janggal. Entah kenapa, kali ini saya berada di sebuah kota pantai Florida, AS, sekitar 1949. Saat itu winter, cuacanya membuat badan menggigil, memaksa saya mengenakan jaket yang tebalnya bukan main. Di antara garis pasir yang melandai nan eksotis, saya menyusuri jalan-jalan slum di kota. Tempat perumahan kumuh buruh migran, lokasi selundupan yang sempurna buat ‘mucikari’ buruh.

Sejurus kemudian, datang sesosok penyair kenamaan AS, Robert Frost, menemani saya berkeliling malam. Tak banyak yang mengenalnya, bahkan di kalangan warga AS saat ini. Apalagi ketika kata-kata puitik di AS berubah dinamis. Menjadi barisan narasi dengan nada-nada menghentak, berima dan berirama. Di tangan rapper muda, kata-kata puitik tak lagi diperdengarkan di gedung kesenian saja, melainkan sudah masuk Radio City Music Hall ataupun kantor pusat MTV. Semua bisa jadi penyair handal. Jika eksistensi pribadi ditonjolkan, imbasnya eksistensi yang lain berangsur tenggelam. Ah, sudahlah... Puisi juga bukan cuma hiburan bagi mereka yang dianggap “layak berbudaya”, tapi merayakan imaji jiwa-jiwa yang merdeka.


Robert Frost. Namanya tak sebesar Ernest Hemmingway, Edgar Allan Poe ataupun Mark Twain. Hanya mereka yang gandrung pada karya sastra Amerika mengenal siapa dia. Frost hanya memproduksi berbaris-baris puisi dan prosa cerita keseharian. Berbeda dengan sastrawan lain yang mampu membawa pembacanya menyisir berjilid-jilid novel.

Ada yang beda dalam karya Frost. Sebagian besar puisinya bercerita tentang kegelapan. Bisa saja ini berhubungan dengan kehidupannya yang kalut. Ia diliputi banyak kesedihan dan kehilangan. Kedua orang tuanya meninggal. Menyisakan 8 dollar AS untuk ia jatuh bangun bersama adik kecilnya dalam usia muda. Saat berkeluarga, ia dan istrinya pernah menjalani rehabilitasi mental, akibat tiga dari enam anaknya meninggal beberapa tahun setelah kelahiran.

Hobi anehnya berjalan-jalan seputar kota dalam gelap yang dingin. Baginya, ini adalah terapi mengobati jiwanya yang remuk. Karena malam merupakan pusat perenungan, keintiman penuh untuk Frost. Ia dapat melihat dunia yang utuh dalam kacamata rembulan.

Ia begitu mengagumi malam dan kegelapan, walau itu getir. Karyanya memiliki sudut reflektif mendalam. Jarang terselip metafora berlebihan yang cenderung hiperbolis. Persis seperti cerpen Hans Andersen tentang gadis penjual korek api. Menjelaskan sesuatu yang tak tampak yang coba ditampik; seorang gadis yang melawan dingin malam dengan korek apinya. Kita tahu, gadis itu akhirnya mati, ditengah malam Natal yang seharusnya momen bahagia seorang anak. Tidak ada yang mati, memang, dalam karya Frost. Ia cuma menarasikan ulang keadaan-keadaan “gelap”, yang disingkirkan oleh sesuatu yang “terang”.

Saya tertarik pada salah satu karya Frost berjudul “Acquainted With The Night”. Perkenalannya pada waktu perkuliahan sastra. Awalnya, saya tak melihat ada yang istimewa, meski karya itu dianggap terbaik. Pergumulannya dengan malam terlihat bak seorang veteran yang berjalan dalam gelap gulita.

Ketika untuk kedua hingga ketiga kali membacanya baru saya memahami yang “tak tampak” dalam karya Frost. Ada getir, perjumpaan yang tak biasa dan nilai filosofi didalamnya. Berikut sajak-sajak “Acquainted With The Night”:

Acquainted with the night

I have been one acquainted with the night
I have walked out in rain –and back in rain
I have outwalked the furthest city light

I have looked down the saddest city lane.
I have passed by the watchman on his beat
And dropped my eyes, unwilling to explain

I have stood still and stopped the sound of feet
When far away an interrupted cry
Came over houses from another street,

But not to call me or say good-bye;
And further still at an unearthly height
One luminary clock against the sky

Proclaimed the time was neither wrong nor right.
I have been one acquainted with the night.

Langkahnya sepintas sia-sia, tapi tersirat makna yang subtil. Frost melukiskan dirinya sebagai orang yang berpengalaman. Pada kalimat pembuka –dan beberapa kalimat lain— ia selalu menggunakan kata “I have been”. Bahkan, dalam baris ketiga ia menekankan, “I have outwalked the furthest city light”. Disini ia tidak bermaksud congkak. Karena apa yang ia gambarkan tentang kota di AS sungguh sesuatu yang tak mengenakkan dirinya.

Dari hujan, kembali ke hujan. Itu sekelumit awal perjumpaannya dengan alam. Entah apa keresahannya, sebab dalam bait kedua ia menulis “the saddest city lane”, yang berarti jalanan kota tersedih. Berulang kali ia berjalan di jalur yang sama, dengan kesedihan yang sama pula. Bertambah resah ketika ia berpapasan dengan penjaga malam. “And dropped my eyes, unwilling to explain”, begitu tulisnya.

Ada momen puitiknya yang tak terbahasakan kata-kata. Disinilah saat segala ilmu pengetahuan luruh di hadapan teks puisi. Kita tak tahu teori apa yang bisa menjelaskan momen yang dialami Frost. Apakah sang penjaga malam menakut-nakuti si penyair? Hingga ia harus menutup mata dan tak berkata apa-apa kepadanya. Ataukah kondisi dari penjaga malam yang membuatnya merasa iba sampai harus memejamkan mata dan diam? Segala rumusan yang mendekati kepastian berangsur jadi prediksi kasar.

Kata-kata di satu sisi memang memenjarakan perasaan. Saat merasa iba atau cinta, tak ada satu kata pun bisa merujuk kadarnya. Kadar cinta tiap orang berbeda, tapi selalu terkotak dalam satu kata “cinta”. Adakah ucapan kekaguman yang lebih tinggi tingkatnya dibanding kata “cinta”? Namun, mau tak mau, kita mesti berbahasa agar tetap berada dalam laju peradaban.

Sesuatu yang penting coba saya tangkap. Frost tetap menceritakan sosok penjaga malam, sosok yang kurang penting dalam “terang”. Sikapnya bijak tatkala ia tak menjauhi dunia malam yang gelap dan tersisih. Ketika beberapa sastrawan mengibaratkan harapan berkorelasi dengan “terang” dan “menyala-nyala”, Frost justru mengisahkan penjagaan harapan dalam gelap. Penjaga malam selalu menjaga harapan orang-orang yang terlelap sehabis meraih mimpi di waktu siang. Harapan memang cerita rutin saat siang, lalu sejenak berhenti saat malam.

Dalam bait ketiga, saya menyaksikan sesuatu yang mencengangkan Frost. Ia menghentikan langkahnya, tersela oleh tangisan yang datang dari rumah-rumah seberang jalan. Frost terganggu. Sebuah interupsi yang membuatnya mengira-ngira pada raungan yang terjadi.

Tebakan saya itu adalah tangisan bayi. Frost kemudian memberikan pemandangan yang kontras, “And further still at an unearthly height / One luminary clock against the sky”. Saat bulan berada di atas, menantang langit. Tengah malam dan tangisan keras sebenarnya paduan yang tak lazim. Biasa kita dengar ketika berjalan malam hanyalah erangan nafsu hidung belang dan pelacur, atau teriakan warga yang rumahnya disatroni maling. Ternyata ada hal baru yang merupakan potret tersembunyi kegemilangan AS. Sebab jika seorang bayi menangis tengah malam, biasanya karena lapar.

Tiap kota cenderung menyembunyikan sisi buruknya. Demi menertibkan ditaruh lampu-lampu kota dengan tingkat cahaya yang terang-benderang. Semakin terang, semakin tak ada yang tersembunyi. Namun, tak ada yang benar-benar berhasil menyembunyikan kisah pilu dari malam. Malam punya “dunianya” sendiri. Saat gelap menyergap, orang mulai melakukan perbuatan yang tak mungkin dilakukan waktu matahari menjelang. Kriminalitas, pelacuran, pembalasan dendam preman, kisah-kisah mistis, bahkan permainan anak-anak jalanan.

Frost bercerita sederhana lewat puisinya “Acquainted With The Night”. Ia mengunjungi sisi yang berbeda dari malam itu sendiri hanya untuk “acquainted” (berkenalan).

Pungkasnya, dalam bait terakhir ia menulis bergaya kontemplatif, “Proclaimed the time was neither wrong nor right”. Tak ada yang salah dengan malam. Pergantian waktu cuma rotasi bumi biasa, penanda kehidupan. Saya pun teringat sebuah ayat, yakni pergantian siang dan malam merupakan sebuah pertanda penting. Bukan saja pertanda peralihan kosmis alam semata, melainkan juga gambaran manusianya. Benar saja, malam tak hanya memunculkan begal dan maling, hidung belang dan pelacur, genderuwo dan kalong wewe, tapi juga sebuah kenyataan yang ingin ditampik.

Lalu, saya terbangun. Sadar pada kondisi sekitar. “Ini Jakarta!”, pikir saya. Sepertinya saya telah melewatkan malam ini dengan malam “yang lain”.

Tidak ada komentar: