Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

2.19.2009

Salut untuk Ponari!

Waktu itu saya masuk ke ruang dosen, mau bertemu dosen pembimbing meminta tanda tangan persetujuan. Ada salah satu dosen nyeletuk soal kasus Ponari. Ia bilang, “Wah, Ponari ini memperlihatkan masyarakat kita masih banyak yang irasional.”

Irrasionalitas masyarakat? Ya, saya akui itu. Karena negara ini tercipta oleh semangat spiritual juga. Terbukti makin banyak saja orang yang melakukan ritual pesugihan. Salah satunya ritual Gunung Kemukus. Namun, pesugihan seperti itu hanya karena ketamakan manusia. Memperoleh sesuatu dengan tidak adil lewat cara-cara spiritual. Spiritual pada intinya hanyalah berusaha menyeimbangkan dan menyelaraskan kosmis alam dan manusia.


Capek ah bicara spiritual. Yang jelas Ponari membuktikan pelarian spiritualitas dari kenyataan yang menghimpit. Lihat saja pasien Ponari. Hampir semuanya pakai sandal dan berbaju lusuh. Kita tentu sudah tahu dari kelas mana masyarakat itu.

Kenapa mereka berpaling ke Ponari urusan kesehatan? Yang dianggap irrasional oleh orang-orang intelek? Saya tak suka orang menganggap bodoh masyarakat kita yang berasal dari golongan lemah. Masyarakat yang percaya Ponari, yang dibilang irrasional, menganggap hal-hal rasional tak lagi menolong mereka. Undang-undang dan perangkat kesehatan (yang sebenarnya nyata dan bisa dirasa panca indera) justru menjauh dari mereka. Obat makin mahal, dokter makin mirip debt collector dan menginap di rumah sakit sama seperti menginap di hotel mewah.

Orang-orang intelek yang menilai mereka irrasional justru saya anggap tak masuk akal. Sebab mereka tak menggunakan rasionalitasnya untuk melihat masalah krusial di masyarakat. Padahal rasionalitasnya sudah tercantum di gelar-gelar akademis yang mentereng. Jangan-jangan berbanding terbalik; semakin tinggi gelar justru semakin irrasional mereka. Entahlah. Mudah-mudahan kita masih punya akal sehat.

Tidak ada komentar: