Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

Sisakan Satu Bungkus Nasi Uduk Untukku

”..memang nasi uduk menjadi suatu pembebasan; dari rasa lapar maupun ketertindasan hegemonik”, Seno Gumira Ajidarma.

Esai tentang nasi uduk dari Seno tadi kembali mengingatkanku pada seorang penjual nasi uduk. Waktu itu, lapar sedang ganas – ganasnya menyerang saat saya begadang jam 1 malam bersama kawan – kawan. Langsung saja seorang teman berinisiatif membeli nasi uduk secara kolektif. Deru motor segera dipacu mengajakku turut serta. Aneh, karena harga yang dijual hanya Rp. 500,- per bungkus. Terletak di bilangan Srengseng, Jakarta Barat saya tiba diwarung. Warungnya cuma sebuah rumah dengan diameter 4x4 meter dengan diisi 5 orang sekeluarga. Kasihan, terus terang saya tidak tega ketika harus membeli karena menyaksikan realitas seperti itu. Sayangnya, penjual terlanjur pindah lantaran tidak sanggup membayar kontrakan.


Nasi uduk. Kenapa harus nasi khas Betawi itu? Saya kembali teringat ketika berkunjung ke kantor sepupu yang banyak pegawainya membawa nasi uduk sebagai bekal. Nasi uduk ternyata membawa kita kepada persaudaraan antar warga Jakarta. Untuk sejenak saya kira kita melupakan jenjang ekonomi masing – masing.

Orang, entah kaya atau miskin, rela mengotori tangannya dengan minyak melahap nasi dengan lauk yang sedang mengepul. Pertemuan antara pedagang dan pembeli terjadi tidak seperti di drive-through McDonald’s di beberapa mall Jakarta. Hubungan sosial seperti itu meskipun singkat cukup membuat kita merasa sebagai makhluk sosial. Cengkrama antara penjual dan pembeli tak terelakkan, biarpun ngobrol ngalor ngidul.

Saya menjadi heran kenapa nasi uduk tidak digembar-gemborkan seperti kerak telor ataupun soto Betawi yang juga merupakan kuliner khas Jakarta di Pekan Raya Jakarta. Mungkin sudah populer dan yang lain perlu ’diselamatkan’? Entah. Yang jelas nasi uduk telah menjadi identitas warga kota Jakarta. Kaum pendatang mungkin tidak akan lupa ketika kembali ke daerahnya. Inilah yang menjadikannya khas.

Kembali ke masalah persaudaraan ala nasi uduk. Dibenak kita sangat jelas tertancap kuliner – kuliner asing macam pizza, hamburger atau steak. Tayangan iklan dan prestise semu kadung melekat. Tapi pastinya ada tempat di hati untuk kuliner lokal Jakarta, nasi uduk. Setidaknya ketika dihidangkan ditengah meja makan. Ini semakin menandakan betapa pun kosmopolitan-nya diusahakan oleh Pemda bagi warga Jakarta, cita rasa tidak bisa bohong. Tak ada yang dapat mengalahkan posisi nasi uduk di hati warga Jakarta di antara serbuan kuliner asing. Ketika hubungan antar sesama warga Jakarta kian jauh, bahkan mulai dipisahkan berdasarkan kesukuan, nasi uduk berubah menjadi alat sosial warga kota.

Pertemuan antar penjual dan pembeli dalam hal ngobrol sejenak di Jakarta makin langka. Nasi uduk membuat kita mau tak mau bertatapan langsung dengan penjual yang rata – rata golongan kelas bawah. Keluh kesah pun akhirnya terngiang di telinga. Pertemuan semacam ini sudah jarang dikarenakan pasar tradisional yang dulu para ibu – ibu suka berbelanja sudah semakin tergusur oleh mall – mall. Tawar menawar antara keduanya sebagai wujud komunikasi tak mungkin terdengar di mall yang menomorsatukan efisiensi dan praktisisme. Proses tatap muka sudah tak punya ruang lagi. Tanpa nasi uduk mungkin saya tidak tahu apa yang dialami oleh penjual nasi uduk tadi.

Ingat nasi uduk pasti ingat sayur asem! Sayur asem sepertinya sudah menjadi identitas nasional. Meskipun didalam Istana Negara belum tentu ada sayur asem dan lebih berkiblat pada kuliner asing. Sama – sama dari Jakarta tapi yang masih bertahan adalah nasi uduk. Karena di daerah masih jarang warung yang menyediakan. Mau mencoba nasi uduk mesti datang ke Jakarta. Lagipula sayur asem mudah dijumpai di gerai – gerai makanan atau food court di swalayan maupun mall – mall.

Sedikit berandai, jika saja nasi uduk ada di McDonald’s, Wendy’s, KFC atau apapun namanya; maka tak ada lagi interaksi sosial warga Jakarta. Tak ada lagi orang berdasi berduyun – duyun menyerbu warung – warung pinggir jalan atau tengah perkampungan untuk melalap nasi tersebut. Tak ada lagi obrolan pinggir jalan yang dulu disebut obrolan warung kopi –maklum warung kopi sudah diganti Starbucks- yang khusus mempertemukan penjual dan pembeli. Kendati nasi uduk sampai detik saya tulis masih ada di warung serbuan kuliner asing kian gencar dan menghantam kuliner lokal. Disini bukan memperjuangkan nasi uduk, tapi mental bangsa yang masih inferior terhadap bangsanya sendiri dan menganggap superior terhadap bangsa asing. Melainkan perjuangan lokal yang tercermin dalam nasi uduk merupakan salah satu dari sedikit warisan budaya pemersatu bangsa. Omong – omong soal nasi uduk saya jadi lapar, kemana ya penjual nasi uduk yang biasa mangkal?!

Tidak ada komentar: