Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

90 Menit Untuk Indonesia

Hari itu (10/7/07) adalah penting. Penting bagi persepakbolaan nasional. Datang dengan harap segudang menanti kemenangan bagi Indonesia atas Bahrain. Menaiki bus 300 jurusan Rawamangun-Blok M jam 12 siang. Lalu, tibalah di Gelora Bung Karno. Langkah cepat pun diambil mengingat antrian tiket yang mulai memanjang.

Riuh ribuan penggila sepakbola (gibol) Indonesia segala penjuru datang ke Jakarta. Tak heran, antrian seperti ular naga memperlihatkan hal tersebut. Semua langkah dan mata gibol tertuju pada tenda berwarna gading. Megah memang. Ada sebuah kotak kayu didalamnya tempat mengantri tiket yang dibuat temporer demi mengantisipasi massa berjumlah ribuan.


Dua loket dipersiapkan dalam ticket box. Emosi gibol rupanya sejalan dengan cuaca yang sangat panas kala itu. Bayangkan, hanya ada dua petugas tiket yang datang ke lokasi. Itu pun sekadar numpang lewat, bukan menjual tiket. Panitia penyelenggara sebenarnya sudah menjadwalkan jam 2 siang tiket akan dijual. Namun, hingga jam 3 siang, tiket pun tak ada yang mampir ke tangan gibol yang rela antri. Mereka punya uang dan mereka pun mau tertib. Sulutan emosi, entah sengaja atau tidak, mulai terpancar. Apalagi dengan kehadiran calo tiket yang tanpa perasaan dan rasa malu menjual tiket dengan harga selangit. Massa yang emosinya terlanjur mendidih kontan marah. Apa yang terjadi jika ribuan massa dibohongi atau antrian panjang hingga ke arah jalan raya diberi janji palsu? Tak salah lagi mereka menghancurkan ticket box.

Amarah massa tak bisa diredakan saat itu. Hingga Ring Road Senayan mereka menerobos barikade lemah para aparat. Demi tiket, demi kecintaan dan demi loyalitas massa seolah tak peduli bahwa Piala Asia adalah hajat besar. Hajat yang membawa nama bangsa sebagai salah satu negara penyelenggara. Kegilaan mereka melebihi kewarasan panitia penyelenggara.

Tiba di depan kantor PSSI, mereka menuntut tiket untuk segera didistribusikan. Dengan kesadaran dan kecintaan mereka berusaha tertib untuk tidak menjebol stadion. Kantor PSSI pun tak bergeming. Seperti kehabisan alasan atas keteledoran panpel. Sayang, lemparan batu yang memecahkan kaca kantor membuyarkan segalanya. Bak robot, polisi dengan serta merta mengusir paksa massa tersebut. Tentunya dengan pukulan sebagai ciri khas mereka.

Akhirnya, tiket pun dibuka ditempat yang tidak semestinya, pintu masuk suporter sebelah kantor PSSI. Hanya ada beberapa orang yang mendapatkan tiket. Ribuan massa lainnya masih kebingungan. Ada kabar baru, di depan loket seberang jalan Asia Afrika ternyata dibuka. Langkah pun dipercepat kembali demi secarik kertas masuk.

Hasilnya ternyata nihil. Sama seperti pembukaan distribusi tiket di pintu masuk, hanya ada beberapa orang yang berhasil mengantongi tiket. Dengan seorang kawan, kekhawatiran mulai mencuat; Apakah bisa masuk stadion? Secuil asa mengantar kaki kembali ke Ring Road Senayan.

Tiket saat itu adalah barang berharga melebihi nyawa sekalipun. Sihir apa yang membuat gibol ini rela datang ke stadion ketimbang menyaksikannya lewat layar kaca. Ada perasaan tersendiri, yang bahkan Rendra pun kehabisan kata-kata melukiskan hal itu.

Asa pun muncul lagi. Di depan pintu menuju tribun atas, polisi dan beberapa panpel mulai menjual tiket dengan harga sama. Uang yang sedari tadi disiapkan langsung disodorkan. “Minimal 10 orang!” sahut pak polisi. Sial, yang ingin dibeli cuma 2 tiket. Untung ada seorang Aremania datang dan membeli tiket untuk 10 orang. Dengan dititipkan 2 tiket menjadi 12 tiket, harapan kembali menyeruak. Tiket sudah ada di tangan.

Tiket tersebut berlabel sektor 4, langkah semakin dipercepat kesana. Ketika sampai, masalah tak kunjung reda. Desak-desakan kembali harus dialami. Terjepit diantara ratusan suporter ke arah pintu dengan lebar tak lebih dari 1,5 meter sungguh menghimpit dada. Ya, dada benar-benar terhimpit dan sulit bernapas.

Lega juga rasanya. Akhirnya, sampai pada tribun atas dengan pemandangan yang pas menonton aksi duta bangsa berlaga. Sudah 10 menit waktu terbuang sejak kick-off. Tak apa-apa, asal sudah bisa masuk stadion.

Menit ke 14, hasil umpan cerdik Firman Utina, Budi Sudarsono mencetak gol setelah sebelumnya mengecoh kiper Bahrain. Sontak gemuruh gibol menggoyang seisi stadion dengan ekspresi kegirangannya. Seolah mau runtuh. Karena di layar elektronik yang tersedia di stadion, gambar memang sedikit bergoyang saat gol tercipta. Situasi ini hanya ada di Indonesia.

Yel-yel dukungan dan nyanyian lagu kebangsaan membahana seantero stadion. Inilah sepakbola dengan emosi sebenarnya. Tak lama berselang, di menit 22, seisi stadion terdiam saat pemain Bahrain menjebol gawang Yendri Pitoy di tengah kemelut permainan. Setelahnya, Bahrain menguasai permainan dengan luncuran bola-bola atas, sementara Indonesia mengandalkan kombinasi bola-bola bawah hingga turun minum.

Babak kedua pun dimulai. Indonesia menerapkan taktik serangan balik yang ternyata ampuh. Tepatnya di menit 64, suara penonton kembali meledak. Bambang Pamungkas menciptakan gol hasil rebound tendangan keras Firman Utina yang membentur gawang. Memanfaatkan permainan cantik di lapangan tengah, tendangan itu sulit dibendung kiper lawan. Berkali-kali setelah kebobolan, Bahrain coba menyerang Indonesia. Pertahanan yang baik dan naungan dewi fortuna gawang Indonesia bersih selama babak kedua. Peluit panjang wasit menandakan kemenangan kedua Indonesia selama keikutsertaannya di Piala Asia. Ini juga menandakan awal dari pesta panjang gibol se-Nusantara.

Seluruh pendukung Indonesia saat itu kegirangan dan bangga akan timnasnya sendiri. Untuk sejenak, antara 90 menit dan waktu sesudahnya milik Indonesia. Semua seakan lupa akan nama-nama tim kelas dunia macam Manchester United, Real Madrid, AC Milan dsb. Maupun nama-nama seperti Ronaldinho, Kaka, Christiano Ronaldo, Rooney dll. Malam itu tak ada nama lain selain Indonesia dan pemain-pemainnya. Waktu 90 menit itu untuk Indonesia.

Inilah kegembiraan sejati buat rakyat, meski hanya 90 menit. Ada sesuatu yang dibanggakan dari Indonesia ditengah gencarnya aksi separatisme belakangan. Pertempuran atas nama nasionalisme masih relevan hingga kini. Ada sesuatu yang harus dibela. Itulah Indonesia, dan pertempurannya berlangsung singkat di Gelora Bung Karno. Pertempuran yang mengingatkan kita masih berdarah merah ditopang tulang yang putih. Bukan begitu, Bung Karno?

Hendro Prasetyo (11/7/07)

Tidak ada komentar: