Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

Di Atas Lapak Persaudaraan Mereka Bertahan

Faktor modal sosial menjadikan resistensi sektor informal masih berlangsung hingga kini.

Ia terlihat santai. Anton –sapaan akrab Yudi Gunawan-, seakan tidak menghiraukan peliknya masalah ekonomi keluarganya, terlebih ia sedang merencanakan pernikahannya beberapa bulan lagi. Suasana dini hari tak menyurutkan penantiannya pada penumpang yang biasa memakai jasanya saat angkutan kota tak lagi beroperasi. Ia duduk dan bersenda gurau bersama tukang ojek lainnya sambil bermain catur beralaskan kardus bekas dari samping warung kelontong. Tepat di atas gapura yang menuju TK Pembina, Petukangan Utara Jakarta Selatan ini ia biasa ngetem. “Biasanya catur jadi teman buat nunggu sewa (penumpang-red) daripada bete,” kata Anton.


Ditemani sebatang rokok dan segelas kopi susu instan, pemuda berusia 25 tahun ini menuturkan bahwa sebagian besar jam-jam penghasilannya ada di tengah malam. “Paling banyak dari tetangga yang kerja kantoran sampai tengah malam,” ujar pemuda humoris ini. Dari jam 10 pagi hingga 3 dini hari, diselingi beberapa kali istirahat, ia biasa bekerja. Berbekal ijazah SMA, ia mengaku sangat nyaman akan profesinya sebagai tukang ojek dengan pekerjaan sampingannya jual-beli dan servis handphone.

Sudah hampir 4 tahun ia berprofesi sebagai tukang ojek, namun ia tetap tidak berniat menjadi pekerja sektor formal. Sembari bergurau, ia mengaku pernah suatu kali bekerja sebagai karyawan Carrefour dan beberapa hypermarket sekitar Bekasi. “Tidak enak kerjanya, malah pacar saya lebih senang saya kerja jadi tukang ojek,” tuturnya.

Perihal alasan mengapa ia berinisiatif menjadikan profesi jasa mengantar tersebut sebagai pegangan hidupnya, ia menjelaskan pekerjaan ini lebih nyaman karena tidak terikat waktu. Anton terinspirasi dari pengalaman tetangga dan saudaranya yang mampu hidup sebagai tukang ojek. “Paling banter 20-25 ribu sehari, buat makan sama nabung,” paparnya menjelaskan upah yang didapat.

Hal yang sama juga dialami oleh Nanang. Tak ada kegelisahan berarti di wajahnya jika menilik keadaan para pedagang kaki lima (PKL) yang rentan penggusuran. Pemuda yang sudah berkeluarga ini sering terlihat berjualan alat elektronik bekas di ruas jalan sekitar halte Busway Kebon Pala. Di lahan yang dulu penuh sesak dengan PKL Pasar Jatinegara, semenjak pembangunan Busway digulirkan para pedagang nampak berkurang dan bergerak memenuhi gang-gang sempit di samping jalan. Pemuda Betawi ini berjualan semenjak tahun 1994 dengan modal awal 2,5 juta rupiah. Modal itu didapatnya dari rekan-rekan sesama pedagang dan tabungannya sendiri. Dalam sebulan ia mendapat keuntungan bersih sekitar 250 ribu rupiah.

Ia pun mengalami gonta-ganti profesi. Terakhir, ia bercerita tentang pengalamannya bekerja sebagai office boy di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Karena menuntut pengaturan waktu yang ketat dan upah yang tak kunjung membaik, ia memutuskan berdagang kembali. Ia juga menambahkan, “Pokoknya kerja apa saja jangan sampai nganggur, disana (BEJ) buat makan sekeluarga gajinya nggak cukup.”

Dorongan dari tetangga kawasan sekitar rumah juga menginspirasikan dirinya untuk berjualan. Nanang pun berani menjamin bahwa hampir tak satu pun pedagang di Pasar Jatinegara yang rugi. “Buat makan mah ada aja, soalnya rata-rata tiap pedagang punya minimal 5 pelanggan,” ucapnya. Oleh sebab itu, para pedagang di pasar Jatinegara sangat susah untuk direlokasi. Selain faktor kebutuhan hidup, keterlekatan terhadap pelanggan membuat mereka enggan berpindah jauh dari Jatinegara.

Memang, memandang sektor informal perkotaan ternyata modal sosial (social capital) sangat berperan disana. Apalagi di kota besar seperti Jakarta. Tak kenal maka tak sayang. Peribahasa itu cocok dialamatkan kepada sektor informal perkotaan. Hanya bermodal kenal dan persaudaraan, pelaku sektor informal dapat menyelamatkan hajat hidupnya sendiri tanpa bergantung pada pemerintah. Inilah yang menyebabkan sektor informal di perkotaan masih bertahan. Ketika biaya hidup semakin tinggi dan stagnansi lapangan kerja sektor formal belum beranjak, maka menjamurnya sektor informal di perkotaan adalah pasti.

Masa krisis ekonomi 1997-1998 turut memberi andil pada perkembangan sektor informal. Dahulu sektor ini dipandang hanya sebagai pekerjaan sampingan penambah penghasilan. Sekarang, pasca krisis ekonomi 1998, terjadi ledakan pengangguran yang disebabkan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak perusahaan. Tidak seimbangnya ketersediaan lapangan kerja di sektor formal dengan angkatan kerja yang selalu naik antara 2-2,5 persen per tahun semakin menambah pelik persoalan. Alhasil, sektor informal yang berciri low capital, low income, dan bersifat subsisten menjadi pilihan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran menunjukkan penurunan. Bila Februari 2005 sebesar 10,85 juta orang, maka pada Februari 2007 berjumlah 10,55 juta orang. Berarti hanya turun sekitar 300 ribu orang.

Sementara itu, angkatan kerja bulan Februari 2007 bertambah 1,74 juta orang dibanding Agustus 2006 menjadi 108,13 juta orang. Ketua BPS Rusman Heriawan menilai angka itu masih tetap saja tinggi (Republika-online, 16/3/07). Praktis penempatan angkatan kerja tetap bertumpu pada sektor informal. Jadi, entitas besar perekonomian Indonesia saat ini dipegang sektor informal.

Sebegitu pentingnya sektor informal, hingga menurut Abdurrahman, selaku co-coordinator sekretaris Urban Poor Consortium (UPC), bahwa seandainya jika tidak ada sektor informal akan terjadi bencana kelaparan dan kekacauan. “Coba tidak ada sektor informal, mau ditampung dimana? Akan terjadi kelaparan dan kekacauan,” jelasnya.

Hal ini ditegaskan kembali oleh Asep Rahmat, Dosen Sosiologi UNJ ini berpendapat bahwa peran sektor informal di negara memang berfungsi sebagai katup pengaman angkatan kerja yang membludak. Ia menambahkan, kemandekan sektor formal dengan upah yang tidak meningkat, sistem kerja kontrak dan minimnya lapangan kerja baru menasbihkan sektor informal sebagai lahan kerja primer sekarang ini.

Kekuatan kekerabatan
Persoalan banyaknya sektor informal tidak terlepas dari hubungannya dengan urbanisasi dan relasi kota-desa. Kehancuran ekonomi pedesaan dan kaitannya dengan sektor informal perkotaan tak bisa terpisahkan. Ditambah lagi migrasi berantai pasca Idul Fitri yang semakin memperuncing persaingan kerja antar penduduk Jakarta.

Abdurrahman menandaskan hal itu terjadi karena strategi pembangunan yang menitikberatkan kepada kota sebagai pusat pertumbuhan, juga kesenjangan antara desa dan kota yang begitu tinggi. “Itu akan menjadikan kota sebagai lahan emas bagi orang desa, yang ketika desa tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan mereka. Ini stategi pembangunan yang salah,” katanya lagi.

Salekha, lelaki berperawakan gemuk asal Cirebon ini mengakui kebutuhan hidup yang meningkat memaksanya untuk pindah ke Jakarta tahun 1984. Awalnya, ia bekerja sebagai tukang sapu sampai pertengahan 1990-an di beberapa ruas jalan Ibukota. Kemudian dibekali uang sebesar 200 ribu rupiah dari sang kakak, Salekha membangun usaha pembuatan alat kebersihan rumah tangga seperti sapu lidi, pengki, keset dll. Seperti halnya warga pendatang, ia pun memboyong saudara dan kerabatnya ke Ibukota. Demi menyelamatkan hajat hidup keluarganya, ia beralasan.

Pola gaya kerabat rupanya berpengaruh terhadap sektor informal perkotaan. Pola perekonomian di Asia memang masih bersifat kekeluargaan. Berbeda dengan pola di masyarakat Barat yang cenderung liberal. Dapat kita saksikan banyak perusahaan di Asia, apalagi di Indonesia yang belum bersifat terbuka untuk publik.

Untuk mendapatkan modal usaha pelaku sektor informal banyak yang percaya kepada kerabat, baik itu saudara maupun tetangga ketimbang rentenir.

Seperti dijelaskan Nanang bahwa ia tak lagi percaya bank kreditur apalagi lintah darat. Ia merasa lebih aman meminjam modal awal pada kerabat atau sesama pedagang. Menurutnya, pembayaran bisa dilakukan lebih “manusiawi”.

Dorongan motivasi dari kerabat juga semakin mempertebal keyakinan menjalankan usaha. Inilah salah satu bentuk modal sosial (social capital) yang dimiliki pedagang maupun pelaku sektor informal lainnya bahkan sebelum mendapatkan tempat. Semacam kredo ampuh melihat banyaknya sektor informal yang tumbuh.

Seorang tukang ojek di Pasar Tanah Abang Blok A, Qomar, berujar bahwa ia mendapat ajakan seorang tetangga untuk berprofesi seperti ini. Seluruh tukang ojek yang berjumlah sekitar 35 orang ini semuanya berasal dari Betawi, akunya. “Yang penting berasal dari Betawi,” tandasnya. Hingga akhirnya terciptalah paguyuban kesukuan berdasarkan profesi di Pasar Tanah Abang. Pemuda lulusan SMP ini dalam sehari memperoleh sekitar 25 sampai 30 ribu rupiah setiap harinya.

Lain lagi dengan Eko Maryadi, pedagang nasi goreng yang biasa mangkal di sekitar Petukangan Utara, Jakarta Selatan ini. Pria asal Pemalang ini bertutur, dahulu hanya ada satu orang yang berjualan dan kemudian sukses hingga menjadi juragan menyewakan beberapa gerobak dorong untuk tetangga di kampungnya. Sekarang ini Eko sudah memiliki gerobak sendiri. Namun, ia masih tinggal di area yang didominasi pedagang dari kawasan pesisir Jawa Tengah, seperti Tegal, Pemalang, Pekalongan dan sekitarnya.

Atas nama persaudaraan, para pelaku bersatu membangun diri mereka sendiri. Dengan bergerombol pula mereka menempati zona aman yang dibuat sang handai taulan. Akhirnya, zona aman yang terbentuk memberikan keanekaragaman jenis pekerjaan yang berdasar pada kesukuan. Contohnya, pedagang nasi goreng di jalan didominasi oleh warga yang berasal dari kawasan pesisir Jawa. Sementara untuk kerajinan alat-alat rumah tangga diisi oleh suku Sunda seperti, Cirebon, Garut dan kawasan Banten.

Dalam buku Trust, Francis Fukuyama memaparkan bahwa revolusi informasi dan teknologi yang berjalan sekarang ini akan memunculkan komunitas spontan. Cara kerjanya bergantung pada kepercayaan. Kepercayaan tersebut ditentukan secara kultural dan norma-norma dalam tingkat budaya yang berbeda.

Komunitas spontan itu lah yang terbentuk di sektor informal. Social capital atau jaringan-jaringan sosial yang dimiliki oleh para pedagang maupun penjaja jasa menyebabkan mereka bertahan ditengah gempuran ekonomi biaya tinggi.

Meskipun kental dengan rasa kesukuan dan kekerabatan, nampaknya diantara para pelaku sektor informal jarang sekali terjadi konflik. Ada norma dan etika tersendiri yang terbentuk di tataran komunitas.

Semisal dalam tataran komunitas tukang ojek. Menurut Qomar, jarang ada konflik diantara sesama penjaja jasa pengantaran tersebut. Lantaran untuk menjaga lahan kerja sebisa mungkin konflik dihindari dengan cara bergiliran mendapat penumpang.

Begitu juga dengan kalangan pedagang nasi goreng keliling. Eko, tidak menafikan adanya persaingan pendapatan antar pedagang. Namun, cara yang adil coba diambil dengan membedakan jalur dagangnya. “Satu guru satu ilmu, jangan saling sikut,” kelakar lelaki berkumis tipis ini.

Satu hal lain sebagai pertahanan sektor informal menghadapi baik kebutuhan yang menghimpit maupun intaian Satpol PP. “Kreativitas seseorang itu tumpuan hidupnya,” papar Asep. Suku memang alat primordial yang ampuh, tapi tanpa keinginan dan kreativitas mencari peluang akan sia.

Semakin sengit persaingan kerja maka semakin kreatif jenis pekerjaannya. Di banyak perumahan di Jakarta, banyak kita jumpai odong-odong (sejenis kereta kayuh yang mengangkut anak-anak dengan ragam hiasan binatang). Semenjak becak dilarang, becak tersebut diubah menjadi odong-odong yang menjadi kesukaan anak-anak. Atau pedagang kopi keliling dengan sepeda menyusuri kawasan Monas. Mereka melihat peluang kejenuhan dalam antrian karyawan menunggu bis untuk menyeruput kopi barang sejenak.

Banyak pelaku sektor informal masih menganggap pekerjaannya sebagai jalan hidupnya. Ada sebagian lagi karena keterpaksaan karena mandeknya lapangan kerja di sektor formal. Walaupun begitu, apa yang masih menjadi harapan dari pelaku sektor informal masih seputar kepastian lahan berusaha. Penataan kota yang adil adalah yang mereka harapkan. Lingkaran setan kemiskinan kota setidaknya dilawan dengan lingkaran persaudaraan untuk bertahan hidup. Bukti kuat ikatan primordial dan kekerabatan sebagai kekuatan utama memang tak dapat disangsikan lagi mendorong laju pertumbuhan sektor informal.

Resistensi ekonomi rakyat Indonesia selalu diuji di tiap jamannya. Mungkin founding father kita, Bung Karno, tak perlu berteriak Berdikari saat ini untuk menggemakan kemandirian ekonomi rakyat. Toh, pada kenyataannya ditengah himpitan ekonomi biaya tinggi, pengangguran yang terus meningkat, serangan aparat sipil-militer dan serbuan iklan asing, sektor informal masih berdiri tegak. Bahwa betapa sering pun ditekan, sektor informal akan terus merangsek di sela-sela selubung modernitas angkuh Jakarta. Ingat, mereka bersaudara dan masih bertahan.

Tidak ada komentar: