Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

Guru Saya Peterpan

Bagai bintang di surga dan seluruh warna...”, teriak seorang bocah SD mencoba bersenandung.

Apa beda Peterpan dengan guru? Peterpan merupakan salah satu band yang tersohor di Indonesia akhir tahun 2003 hingga sekarang dan mulai melebarkan sayapnya ke mancanegara. Guru, sampai sekarang masih memikirkan bagaimana menyelamatkan keluarganya akan hari esok.


Perbedaan, memang, tidak berakhir pada nasib –jika bisa dibilang seperti itu. Mengulas judul diatas, tampak seorang bocah SD sedang melafalkan lagu Peterpan berjudul “Bintang di Surga”. Mengapa ia sampai berteriak, bahkan mencoba menghapalkan lagu tersebut? Apa yang terjadi dengan “Indonesia Pusaka” atau “Indonesia Raya”? Pencitraan sebuah band terkenal lebih ampuh ketimbang apa yang diajarkan guru pada murid. Tak heran jika salah satu dari kita yang sudah mahasiswa mungkin sering lupa lirik lagu “Indonesia Raya”. Ini terkait dengan citra seorang guru di mata muridnya. Guru tidak lebih sebagai tempat untuk mendapatkan nilai bagus di sekolah. Jika mendapat nilai bagus, maka guru pun akan dinilai bagus, begitu pun sebaliknya.
Indonesia, melihat nasib guru di negeri ini, sudah bukan rahasia umum, terlihat mengenaskan. Sadar akan hal ini, pemerintah memberlakukan UU Guru dan Dosen. Tujuannya bagaimana menciptakan guru yang ideal, dalam kata lain profesional. Guru dalam hal ini dituntut untuk bekerja lebih baik. Ukuran profesionalitas lebih diarahkan kepada kompetensi guru dalam mengajar. Panen kritik banyak dituai pemerintah. Mulai dari problem kesejahteraan hingga disparitas guru dan dosen. Kontradiksi terjadi ketika hanya guru yang dipersalahkan menyangkut masalah kependidikan.

Pendidikan memang sudah akut. Anggaran yang tidak jelas kemana arahnya,, sekolah ambruk sampai upah guru yang tidak layak mengiringinya. Terasa tidak adil kalau menyalahkan guru sebagai pangkal permasalahan pendidikan. SDM yang menurun sebagai akibat proses pendidikan yang dihasilkan guru (maaf) tidak berkualitas. Siapa yang tidak berkualitas? Mengacu pada UU Guru dan Dosen, kompetensi guru harus ditingkatkan. Itu memang perlu. Tetapi ketika guru pun sudah dijauhi bahkan dianggap remeh oleh muridnya, apa pengaruh kompetensi? Image yang terbentuk di masyarakat kadung menganggap guru sebagai profesi terakhir. Kelas tiga, kalau boleh disebut seperti itu.

Guru pada tragedi Hiroshima dan Nagasaki sangat penting di mata pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang menanyakan pertama kali tentang berapa guru yang selamat. Jepang pada saat itu memandang guru adalah pijakan arah bangsa. Mulai dari situ, posisi guru memang sangat terhormat sampai saat ini lantaran pemerintah peduli. Sampai – sampai levelnya melebihi manajer perusahaan.

Sayangnya kepedulian pemerintah kita hanya muncul saat sekarang, itu pun memposisikan guru sebagai terdakwa. Guru harus berkualitas kira – kira seperti itu tuntutannya. Masalah yang tidak terjawab adalah mengapa guru tidak berkualitas. Problem akan semakin memanjang karena proses sertifikasi guru. Sedikit berandai, jika semua guru mempunyai keahlian yang bagus dan kesejahteraan yang cukup masalah tidak akan selesai. Guru tidak hanya mengajar tapi juga mendidik. Mendidik tidak bisa dinilai dalam sertifikat. Penguasaan dalam kelas, hubungan antara guru dan murid dan kreatifitas guru sangat dibutuhkan oleh murid ketimbang penguasaan materi.

“Guru itu bukan hanya memberi tahu, tapi juga memberikan rasa ingin tahu”, ucap pakar pendidikan Paramadina, Utomo Dananjaya. Guru sekarang hanya dikonsentrasikan kepada pemberian materi demi menyusul kejaran kurikulum. Pemerintah tidak berusaha memulihkan problem yang dialami seorang guru malah menyederhanakannya dalam tataran profesionalitas.

Guru bukan profesi, melainkan kebutuhan dan dibutuhkan, tidak seperti kasir di bank. Kalau pun pemerintah peduli terhadap guru, mengapa diberlakukan Ujian Nasional. Ujian Nasional memangkas hak guru untuk menilai muridnya sendiri. Untuk mengajar siapa pun bisa. Mungkin tidak perlu ke sekolah formal tinggal belajar di kursus maupun bimbingan belajar. Mendidik mempunyai arti khusus bagaimana seorang guru dapat melekat di hati para murid dan dapat menjadi teman. Sebutlah berapa guru yang masih kita ingat namanya saat kita menjadi mahasiswa. Jari pun terasa kurang untuk menyebutnya satu persatu. Ungkapan usang, ‘guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa’ harus ditinggalkan. Guru harus punya tanda jasa yang layak baik kehidupan nyata maupun di hati muridnya, bukan sertifikat. Tak heran yang melekat adalah Peterpan bukan gurunya sendiri. (11/12/2006)

Tidak ada komentar: