Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

Makna Seorang Pelacur

Seorang pelacur bukanlah pelaku kejahatan; Ia adalah pahlawan yang berani membuka tabir kebobrokan moral dan problem kemiskinan yang selama ini menutup mata kita.

Kramat Tunggak dahulu dikenal sebagai tempat lokalisasi prostitusi di Jakarta. Begitu pula dengan kawasan Dolly di Surabaya. Kini, Kramat Tunggak bukan sebagai lokalisasi melainkan tempat sentral keagamaan beda dengan Dolly di Surabaya. Pemda saat itu melokalisasi prostitusi dengan alasan agar praktek ini tidak menyebar ke dalam masyarakat. Kalangan aktivis agama dengan tegas menolak lokalisasi ini. Mereka melihat praktek ini hanya melegalisasi dosa.


Meninjau kembali kehadiran para penjaja seks terdapat suatu hubungan dependensi. Pelacuran hadir karena ada supply sehingga memunculkan demand dari pengguna jasa tersebut. Supply yang datang terus – menerus walaupun sudah sering dilakukan razia, praktek prostitusi kerap bermunculan karena ada demand dari konsumen. Jumlah rata – rata usia pelacur (PSK) makin lama semakin bertambah muda, bahkan bisa dibilang dalam usia yang tergolong anak - anak. Ini sangat meresahkan baik pemerintah maupun masyarakat. Sayangnya, tindakan razia cuma berlangsung sementara.

Satu hal yang terlupa dari kalangan aktivis agama adalah mereka cuma menyalahkan keimanan sang pelaku. Kita mungkin tak asing dengan jargon “Berantas Prostitusi”. Kalangan aktivis hanya melakukan sweeping terhadap tempat – tempat yang rawan prostitusi. Menyalahkan keimanan seseorang seharusnya menjadi cambuk bagi mereka sendiri betapa mereka telah gagal meningkatkan tingkat spiritualitas di lingkungannya sendiri. Para pemuka agama terlihat bersifat eksklusif dalam masyarakatnya sendiri. Mereka cenderung menyebarkan dakwah belum sampai ke dalam tataran masyarakat paling bawah. Tindakan kekerasan untuk memberangus prostitusi hanyalah tindakan bodoh. Tak heran para pelacur pun kembali turun ke jalan dan semakin bertambah dengan hadirnya pelacur – pelacur baru. Agama seharusnya dapat mensejahterakan umatnya. Dalam artian bukan dalam kebahagiaan dalam materi, namun batiniah.

Perkembangan prostitusi banyak terjadi di kota – kota besar atau kota – kota yang sedang mengalami pertumbuhan. Kebanyakan dari pelaku prostitusi berasal dari luar kota. Mengapa demikian? Urbanisasi sering dianggap menjadi penyebabnya. Sebab dari banyaknya pelacur berasal dari desa, karena pertumbuhan ekonomi di desa sudah jauh tertinggal dengan di kota. Desa hanya dianggap sebagai pemasok kebutuhan pangan kota. Apa yang terjadi ketika tanah petani di desa digusur? Satu – satunya alat produksi mereka telah terampas. Keadaan menjadi semakin pelik sewaktu mereka terancam akan kehadiran tengkulak. Menurunnya harga gabah dan naiknya harga pupuk juga menambah panjang deretan masalah. Tak ada pilihan lain bagi warga selain ramai – ramai pindah ke kota. Dengan keahlian seadanya, mereka mencoba bertahan hidup. Salah satunya dengan jalan menjadi pelacur.

Alasan yang paling mendasar dari para pelacur melakukan prostitusi hanya masalah ekonomi. Masalah yang mendasar ini sering kali terabaikan. Kemiskinan telah membuat mereka seperti ini. Pemerintah sering melakukan razia terhadap pelacur. Setelah mereka diciduk, mereka kemudian dimasukkan ke dalam panti rehabilitasi sosial. Mereka dibekali keterampilan untuk bekerja agar tidak terjerumus ke dalam pelacuran kembali. Ternyata permasalahan tidak selesai sampai disitu. Malahan bisa bertambah runyam. Pelacur, karena keterbatasan ekonomi, dengan keterampilan seadanya tentunya memulai usahanya dari nol. Lantas sudah banyak bukti bahwa pemerintah sering kali tidak mendukung sektor ekonomi mikro. Bayangkan sudah berapa banyak mall dibangun yang hanya diperuntukkan untuk kalangan ekonomi menengah ke atas. Dengan adanya Perpres 36/2005 semakin jelas ketidakberpihakkan pemerintah terhadap ‘wong cilik’. Kalaupun mereka dapat pekerjaan, apakah itu sudah mencukupi kebutuhan sehari – hari? Ketika biaya hidup semakin meninggi, sementara pemasukan yang didapat kadang tak cukup untuk makan sehari. Ingat, hampir semuanya berasal dari keluarga miskin dan berlatar belakang pendidikan yang masih rendah. Belum lagi stigma buruk yang mereka peroleh dari lingkungan pasca rehabilitasi. Mereka juga tak jarang menjadi tulang punggung keluarga.

Potret pelacuran di negeri ini ternyata hanya dipandang dari sudut sempit. Masyarakat menganggap ini dosa, haram, zinah dsb. Pemerintah menganggap ini semacam penyakit masyarakat. Tetapi apa yang menyebabkan keputusasaan ini jarang tersentuh. Kemiskinan atau lebih tepatnya dimiskinkan lah yang membuat para pelacur seperti ini. Kesaksian mereka seharusnya menjadi sinyal bahwa kemiskinan masih mendera negeri ini yang masih sering ditutup - tutupi. Mereka berani menelanjangi kita dengan realitas sosial yang ada. Cara mereka jelas salah. Namun ketika harapan mereka dihilangkan kita hanya bisa menghujat mereka. Malukah kita setelah ditelanjangi mereka?

Tidak ada komentar: