Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

Adidaya

MTV menyiarkan kesombongan penyanyi rap Amerika dan rumahnya dalam MTV Cribs. VOA menggambarkan alamnya yang tersisa namun masyhur. John hanya menuliskannya.

Ini adalah novel karangan John Steinbeck. Tak ada yang dilebih-lebihkan layaknya novel perang atau percintaan. John, dalam novelnya, adalah laki-laki biasa yang tinggal di Manhattan, New York AS. Lahir di Lembah Salinas, California ia mempunyai satu istri dan tiga anak perempuan. Tak banyak yang mengenalnya untuk sekarang ini. Apalagi dibandingkan dengan artis karbitan kelahiran American Idol. Dia adalah sastrawan. Seperti layaknya sastrawan sedikit yang tahu akan perawakannya, kecuali tulisannya yang menggugah kemanusiaan. Tak banyak yang tahu bahwa ia lah inspirator bagi sastrawan besar Indonesia; Pramoedya Ananta Toer.


Pertengahan tahun 1960, ditengah usia yang mendekati senja, yakni 55 tahun, ia melakukan terobosan yang bisa dibilang terlambat. Perjalanan keliling Amerika akan ia lakoni. Kegalauannya memuncak tatkala goresan penanya hanya berdasar pengalaman akan bacaan ringkas. Baginya adalah kriminalitas, jika seorang penulis menuliskan kehidupan yang sesungguhnya masih asing baginya. Rencana pun dibuat dalam rangka perjalanan panjang mengelilingi Amerika. Bermodal sebuah karavan tua dan berteman anjing pincang bernama Charley. Sebuah buku catatan tak lupa sebagai kewajiban untuk menuliskan perjalanan nan melelahkan tersebut. Ia pergi tanpa pamit pada istri, keduanya benci akan perpisahan.

Epik perjalanan ia tulis seadanya. Ia lama – kelamaan menipiskan kepercayaan pada secarik peta. Sungguh cepat rupanya Amerika berubah, pikirnya. Satu – satunya yang tidak berubah cuma gundukan gunung dan aliran sungai. Mungkin jika ia masih hidup betapa takjubnya menyaksikan Amerika merubah alamnya menjadi mimpi Amerika. Lihat saja Pegunungan Rushmore atau Bukit Hollywood di Beverly Hills, LA.

Selalu ada yang unik dalam perjalanannya. Semua cerita memang pantas diceritakan. Dimulai cerita penyelamatan dirinya ditengah badai laut di pesisir New York mengawali pemberangkatannya.

Ada beberapa momentum yang membuat John sedikit merenungkan hidup dan keberadaannya di negara adidaya itu. Tak perlu lagi bicara nasionalisme pada rakyat Amerika, berbondong–berbondong angkatan muda baru terlihat mendaftar di pendaftaran Navy Seals (Angkatan Laut AS). Membicarakan kesadaran politis rakyat Amerika nampaknya sudah tuntas. Perbicangan dengan Letnan Satu sedikit menggugah dan merubah penilaian tentang apatisme rakyat Amerika pada saat Pemilu. Mereka bukannya tidak mau memilih melainkan mereka tidak diberi tahu waktu pemilihan.

Lain lagi cerita saat ia menyusuri sungai Missouri menuju arah Chicago. Gambaran masyarakat dunia ketiga yang cenderung konsumtif terjawab seiring perjalanannya. Onggokan sampah mobil bekas terhampar sepanjang jalan. Budaya konsumtif memang menjadi ciri maupun kritik John atas Amerika. Entah kebetulan atau tidak, John memang suka pada benda – benda rongsokan. Ia seakan tak rela sampah yang begitu berharganya tergeletak tak bernilai. Teringat juga acara MTV Cribs, panduan anak muda Amerika. Di acara tersebut seorang penyanyi hip-hop sering gonta – ganti pakaian yang hanya dipakai sekali saja. Atau saat Jay-Z mengunjungi Afrika. Betapa anak muda Afrika terkena virus konsumtif yang lebih mementingkan mempunyai HP model kamera ketimbang sarana air bersih yang tak ada sama sekali di sekolahnya.

Sebuah penginderaan jarak dekat oleh Steinbeck merupakan kondisi jujur atas kondisi masyarakat Amerika saat itu. Efeknya sampai kini masih terasa. Buktinya, masalah obesitas di anak–anak Amerika tak lepas dari semangat perburuan oleh kakek–kakeknya. John mengamati budaya berburu yang gandrung. Umumnya tubuh para pemburu tak lebih dari kumpulan lemak hewan buruan. Jamur McDonald’s, Burger King dan Wendy’s walaupun didakwa tak sehat, posisinya masih kuat sebagai makanan pokok.

Melting pot dunia, demikian masyarakat menyebutnya untuk negeri seribu budaya ini. Fenomena goldrush bukan satu–satunya alasan mengapa penjuru dunia pindah ke negeri Paman Sam. Selain perbudakan, imigran ilegal turut memberikan andil akan terciptanya tatanan masyarakat majemuk. Di perkebunan anggur Montana, tiap masa panen pekerja serta merta datang dari bukit perbatasan dengan Kanada. Mereka umumnya adalah orang Perancis, atau singkatnya masyarakat Perancis pinggiran di Kanada. Para tuan tanah tak mau ambil pusing dengan jalan pintas buruh murah negeri seberang. Kaum Hispanic (peranakan sekarang Mestizo atau Chicano) menyelinap masuk melalui New England dan perbatasan Mexico.

Orang Amerika adalah tipe yang tidak suka untuk settle. Gaya hidup mereka layaknya kaum hippies alias nomaden. Teori awal dari peradaban kulit putih Amerika memang berasal dari bangsa Romawi, bangsa penjajah. Mereka merayap menuju selat Inggris dan menjadi mayoritas di Inggris Raya. Yang tersisa tinggal penduduk asli Wales. Hingga kemudian Inggris menjelma kekuatan baru dunia penjajahan. Barbarisme tak lepas dari proses pendudukannya dari Asia, Australia hingga Amerika. Negeri penjelajah dan penjajah merupakan faktor turun temurun orang Amerika. Banyak ditemukan sebuah keluarga yang lebih nyaman tinggal di karavan daripada menetap. Komunitas sopir truk menjadi cerita tersendiri, bahkan cikal bakal komunitas motor dunia berawal disini. Semua tak lepas dari rasa penjelajah warga Amerika.

Novel Travels With Charley ini meraih Nobel Sastra Dunia tahun 1965. Catatan perjalanan seorang manusia yang berhasil melukiskan sisi historis maupun kemanusiaan Amerika kala itu. Novel ini semacam perjalanan merangkai sejarah dan sayangnya belum ada terjemahannya. Isi dari novel mirip sebuah diary membuatnya memerlukan pemahaman mendalam akan makna. Meskipun begitu, pembacaannya mengenai dunia Amerika secara jujur merangsek masuk kalbu kemanusiaan pembacanya.

Buku Travels With Charley, John Steinbeck (Bantam Books, 1963)

Tidak ada komentar: