Hanya narasi-narasi. Hanya suara-suara minor. Hanya seseorang.

11.23.2008

27 Januari

“Sekali berarti, sudah itu mati”, Chairil Anwar.

Desingan peluru merobek langit Solo. Suaranya keras dan tegas mengantar Sang Jenderal ke peraduan terakhir. Sejak prosesi pemakamannya diambil alih negara, upacara khas militer jadi tema pokok. Sistem yang tertata, penuh kepatuhan dan ketaatan. Sebentuk hormat terakhir buat Sang Jenderal.


Torehan kisah Sang Jenderal selama 32 tahun kontan menjadi santapan media. Asvi Warman Adam, seorang sejarawan, berkata; inilah “mantan penguasa yang spesial di dunia”. Tak ada satupun penguasa dunia yang diberitakan dari sakit hingga ajal sampai sedetil-detilnya. Ia “spesial”.

Dari Kemusuk, Papua, Jakarta sampai Giribangun cerita terbangun. Tentang bangsa yang belum selesai. Karena, seperti serunya yang selalu dipakai tiap upacara bendera, “...kita harus mengisi kemerdekaan..”. Kemerdekaan baginya adalah awal ketidakpastian hidup.

Ya, bangsa ini memang belum selesai. Sejarah peradaban manusia merupakan sejarah perlawanan, dengan langgam kekerasan menyelimutinya. Peradaban Indonesia pun tak jauh beda, ada nuansa profetik didalamnya. Kerinduan kehadiran Sang Ratu Adil. Tjipto Mangunkusumo pernah jengah dalam hal ini. Ia berujar, lebih baik Sultan di Surakarta tak lagi ber-“istana”. Unsur feodalistik yang kuno menghambat kemajuan masyarakat.

Tapi sejarah bicara lain. Vincent J. Houbein dalam buku Keraton dan Kompeni, menulis seorang Sultan di Surakarta mengharuskan Gubernur Belanda mengikuti tatacara Jawa yang rumit hanya untuk makan malam dengannya. Saat itu “Barat” tak dapat menembus “Timur”. Batas teritori makin jelas dan menundukkan “Yang Lain” tanpa bedil dan belati. Walau cuma ritual, setidaknya kemenangan hegemonik kecil terasa.

Lantas, bagaimana rakyat kala itu? Ritual jemur diri di alun-alun jadi ajang protes rakyat Jawa menolak suatu kebijakan. Sang Sultan yang ditasbih sebagai “titipan langit” bertanggung jawab mesti bersikap adil dan bijak kepada rakyat. Sosok pamong ini membuat Sultan dielu-elukan. Hingga bertahun setelah kematiannya.

Kepastian itu ketakutan. Penghambaan pada Sultan bisa negatif. Tak satupun mampu menakar moralitas manusia, termasuk “Sang Ratu Adil”.

“...kita harus mengisi kemerdekaan...”

Kata-kata itu jadi azimat. Ditengah badai ekonomi pasca Demokrasi Terpimpin, Sang Jenderal mengeluarkan jurus “bebas-aktif” pada “Yang Lain”. Jauh berbeda dengan aneka konfrontasi yang dicanangkan sebelumnya. Butuh kepastian total.

Waktu berlanjut. Dengan segala puji dan kontroversi, Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) digulirkan. Satelit Palapa bersandingkan bulan, gedung semakin menjulang, dan stabilitas jadi prioritas.

Lalu, seperti Sultan, kekuasaan harus abadi. Tanpa pengesahan spiritual, berjalanlah totaliter-militeristik. Dihilangkannya sosok demi sosok yang “mengancam” stabilitas. Ritual jemur diri kemudian menghilang, sebab beda berarti binasa. Ke-“pasti”-an saat itu sangat menakutkan.

***

“Sekali berarti, (se)sudah itu mati”

Chairil mengerti betul arti zaman yang sehat. Sekali berarti untuk selamanya dikenang. Dikirimnya sajak ini guna mengusir penjajah selamanya.

“Sekali berarti...”, sama dengan menyejarah. “...(se)sudah itu mati”, bermakna sudah usai. Kita tahu, kuasa Sang Jenderal tak kunjung usai sampai tiga dekade lebih. Sampai titik dimana virus kekuasaan menjalar liar. Akibatnya, parasit politik bertumbuhan bak cendawan musim hujan. Dalam koor mereka satu nada; kekuasaan ini harus abadi!

Pemilu 1997, Sang Jenderal bilang letih. Borok kemiskinan dan korupsi yang diolesi salep pembangunan tak lagi manjur. Namun, ia berkuasa kembali.

Ia bukan segalanya, tentu. Tapi kematiannya fenomenal. Dambaan Sang Jenderal menjadi “Sang Ratu Adil” tercapai. Ribuan orang melayat, dan disudut lain memanjatkan doa.

Arak-arakan pengawal negara mengantar Sang Jenderal. Ia sosok militer tulen, melesat tak ragu tanpa pandang bulu. Bagi Sang Jenderal, tugasnya telah usai.

Laiknya seorang militer, tugas negara itu harga mati. Begitu pula tanggung jawab. Disini kehormatan dipertaruhkan. Sebab menuntut tanggung jawab adalah menghargai kepatuhannya pada negara. Itupun jika kita masih menganggapnya berdedikasi, bukan pecundang.

Tidak ada komentar: